BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
FILSAFAT dan
filosof berasal dari kata Yunani “philosophia” dan “philosophos”. Menurut
bentuk kata, seorang philosphos adalah seorang pencinta kebijaksanaan. Sebagian
lain mengatakan bahwa filsafat adalah cinta akan kebenaran. Filsafat sering
pula diartikan sebagai pandangan hidup. Dalam dunia pendidikan, filsafat
mempunyai peranan yang sangat besar. Karena, filsafat yang merupakan pandangan
hidup iku menentukan arah dan tujuan proses pendidikan.
Oleh karena itu,
filsafat dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebab, pendidikan
sendiri pada hakikatnya merupakan proses pewarisan nilai-nilai filsafat, yang
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan yang lebih baik atau
sempurna dari keadaan sebelumnya.
Dalam pendidikan diperlukan bidang filsafat pendidikan. Filsafat
pendidikan sendiri adalah ilmu yang mempelajari dan berusaha mengadakan
penyelesaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis. Jadi
jika ada masalah atas pertanyaan-pertanyaan soal pendidikan yang bersifat
filosofis, wewenang filsafat pendidikanlah untuk menjawab dan menyelesaikannya.
Secara filosofis, pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang
terus menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta
pandangan hidupnya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga di dalam
masyarakatnya. Dengan demikian, muncullah filsafat pendidikan yang menjadi
dasar bagaimana suatu bangsa itu berpikir, berperasaan, dan berkelakuan yang
menentukan bentuk sikap hidupnya. Adapun proses pendidikan dilakukan secara
terus menerus dilakukan dari generasi ke generasi secara sadar dan penuh
keinsafan.
Ajaran filsafat adalah hasil pemikiran sesorang atau beberapa ahli
filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan suatu masalah
terdapat pebedaan di dalam penggunaan cara pendekatan, hal ini melahirkan
kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula, walaupun masalah yang dihadapi sama.
Perbedaan ini dapat disebabkan pula oleh factor-faktor lain seperti latar
belakangpribadi para ahli tersebut, pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran
manusia di suatu tempat.
Ajaran filsafat yang berbada-beda tersebut, oleh
para peneliti disusun dalam suatu sistematika dengan kategori tertentu, sehingga
menghasilkan klasifikasi. Dari sinilah kemudian lahir apa yang disebut aliran
(sistem) suatu filsafat. Tetapi karena cara dan dasar yang dijadikan criteria
dalam menetapkan klasifikasi tersebut berbeda-beda, maka klasifikasi tersebut
berbeda-beda pula.
Seorang ahli bernama Brubacher membedakan
aliran-aliran filsafat pendidikan sebagai: pragmatis-naturalis;
rekonstruksionisme; romantis naturalis; eksistensialisme; idealisme; realisme;
rasional humanisme; scholastic realisme; fasisme; komunisme; dan demokrasi.
Pengklasifikasian yang dilakukan oleh Brubracher sangat teliti, hal ini
dilakukan untuk menghindari adanya overlapping dari masing-masing aliran.
Sebagian ahli mengklasifikasikan aliran filsafat
pendidikan ke dalam tiga kategori. Yaitu, kategori filsafat pendidikan akademik
skolastik, kategori filsafat religious theistic, dan kategori filsafat
pendidikan social politik. Filsafat pendidikan akademik skolastik meliputi dua
kelompok yang tradisonal meliputi aliran perenialisme, esensialisme, idealisme,
dan realisme, dan progresif meliputi progresivisme, rekonstruksionisme, dan
eksistensialisme. Filsafat religious theistik meliputi segala macam aliran
agama yang paling tidak terdiri dari empat besar agama di dunia ini, dengan
segala variasi sekte-sekte agama masing-masing. Sedangkan filsafat pendidikan
social politik terdiri dari humanisme, nasionalisme, sekulerisme, dan
sosialisme.
B.
Tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai :
1. Sebagai pemenuhan tugas yang diberikan dosen
filsafat pendidikan.
2. Agar mahasiswa mengetahui dengan jelas tentang
filsafat pendidikan idealism.
3. Sebagai referensi untuk mengerjakan tugas yang
lainnya.
4. untuk memenuhi
rasa ingin tahu dan keterkaitan penulis terhadap bab aliran filsafat idealisme,
serta mencoba menuangkan informasi yang didapat ke dalam sebuah tulisan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Filsafat dan Aliran Idealisme
Filsafat dan filosof berasal dari kata Yunani
“philosophia” dan “philosophos”. Menurut bentuk kata, seorang philosphos adalah
seorang pencinta kebijaksanaan. Sebagian lain mengatakan bahwa filsafat adalah
cinta akan kebenaran. Filsafat sering pula diartikan sebagai pandangan hidup.
Dalam dunia pendidikan, filsafat mempunyai peranan yang sangat besar. Karena,
filsafat yang merupakan pandangan hidup ikut menentukan arah dan tujuan proses
pendidikan. Filsafat pendidikan sendiri adalah ilmu yang mempelajari dan
berusaha mengadakan penyelesaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang
bersifat filosofis. Jadi jika ada masalah atas pertanyaan-pertanyaan soal
pendidikan yang bersifat filosofis, wewenang filsafat pendidikanlah untuk
menjawab dan menyelesaikannya.
Ajaran filsafat adalah hasil pemikiran sesorang atau
beberapa ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan
suatu masalah terdapat pebedaan di dalam penggunaan cara pendekatan, hal ini
melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula, walaupun masalah yang
dihadapi sama. Perbedaan ini dapat disebabkan pula oleh factor-faktor lain
seperti latar belakang pribadi para ahli tersebut, pengaruh zaman, kondisi dan
alam pikiran manusia di suatu tempat.
Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374 SM),
murid Sokrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang
mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata
bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan
bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita
melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta
menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak
mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan
idea.
Keberadaan idea tidak tampak dalam wujud lahiriah,
tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni. Alam dalam
pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia idea, sebab posisinya tidak
menetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan asli.
Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya sangat mutlak, tidak bisa
dijangkau oleh material. Pada kenyataannya, idea digambarkan dengan dunia yang
tidak berbentuk demikian jiwa bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh yang
dikatakan dunia idea.
Prinsipnya, aliran idealisme mendasari semua yang ada.
Yang nyata di alam ini hanya idea, dunia idea merupakan lapangan rohani dan
bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti yang tampak dan tergambar.
Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas dan tumpuan yang paling akhir dari
idea adalah arche yang merupakan tempat kembali kesempurnaan
yang disebut dunia idea dengan Tuhan, arche, sifatnya kekal
dan sedikit pun tidak mengalami perubahan.
Tegasnya, idealisme adalah aliran ilmu filsafat yang
menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar yang
dapat dicamkan dan dipahami. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007 : 416)
Menurut Ahmad Agung yang dikutip dari bukunya Juhaya
S. Pradja (1987 : 38) ada beberapa jenis idealisme, diantaranya :
1) Idealisme
subjektif atau juga disebut immaterialisme, mentalisme,
dan fenomenalisme. Seorang idealis subjektif akan mengatakan
bahwa akal, jiwa, dan persepsi-persepsinya atau ide-idenya merupakan segala
yang ada. Objek pengalaman bukanlah benda material; objek pengalaman adalah
persepsi. Oleh karena itu benda-benda seperti bangunan dan pepohonan itu ada,
tetapi hanya ada dalam akal yang mempersepsikannya.
2) Idealisme
objektif, yakni dikatakan bahwa akal menemukan apa yang sudah terdapat
dalam susunan alam.
3) Idealisme individual atau idealisme
personal, yaitu nilai-nilainya dan perjuangannya untuk menyempurnakan
dirinya. Personalisme ini muncul sebagai protes terhadap materialisme
mekanik dan idealisme monistik.
B. Tokoh Aliran
Filsafat Idealisme
1. Plato
(427-374 SM)
Plato adalah murid Sokrates. Aliran idealisme
merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita
adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di
antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca
indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia
idea. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea.
Idea sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran,
yang mengalami gerak tidak dikategorikan idea.
Plato yang memiliki filsafat beraliran idealisme yang
realistis mengemukakan bahwa jalan untuk membentuk masyarakat menjadi stabil
adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi setiap orang dan setiap kelas
menurut kapasitas masin-masing dalam masyarakat sebagai keseluruhan. Mereka
yang memiliki kebajikan dan kebijaksanaan yang cukup dapat menduduki posisi
yang tinggi, selanjutnya berurutan ke bawah. Misalnya, dari atas ke bawah,
dimulai dari raja, filosof, perwira, prajurit sampai kepada pekerja dan budak.
Yang menduduki urutan paling atas adalah mereka yang telah bertahun-tahun
mengalami pendidikan dan latihan serta telah memperlihatkan sifat
superioritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta dapat menunjukkan cara
hidup menurut kebenaran tertinggi.
Mengenai kebenaran tertinggi, dengan doktrin yang
terkenal dengan istilah ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan
jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan. Tugas ide adalah memimpin
budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah
menguasai ide, ia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakan
sebagai alat untuk mengukur, mengklasifikasikan dan menilai segala sesuatu yang
dialami sehari-hari.
2. J.
G. Fichthe (1762-1914 M)
Johann Gottlieb Fichte adalah filosuf Jerman. Ia
belajar teologi di Jena pada tahun 1780-1788 M. Berkenalan dengan filsafat Kant
di Leipzig 1790 M. Berkelana ke Konigsberg untuk menemui Kant dan menulis
Critique of Relevation pada zaman Kant. Buku itu dipersembahkannya kepada Kant.
Pada tahun 1810-1812 M ia menjadi rektor Universitas Berlin.
Filsafatnya
disebut Wissenschaftslehre (ajaran ilmu pengetahuan). Dengan melalui metoda
deduktif fichte mencoba menerangkan hubungan Aku (Ego) dengan adanya
benda-benda (non-Ego). Karena Ego berpikir, mengiakan diri maka terlahirlah
non-Ego (benda-benda). Dengan secara dialektif (berpikir dengan metoda : tese,
anti tese, sintese) Fichte mencoba menjelaskan adanya benda-benda.
Secara sederhana dialektika Fichte itu dapat
diterangkan sebagai berikut: manusia memandang obyek benda-benda dengan
inderanya. Dalam mengindera obyek tersebut, manusia berusaha mengetahui yang
dihadapinya. Maka berjalanlah proses intelektualnya untuk membentuk dan
mengabstraksikan obyek itu menjadi pengertian seperti yang dipikirannya.
Fichter menganjurkan supaya kita memenuhi tugas, dan
hanya demi tugas. Tugaslah yang menjadi pendorong moral. Isi hukum moral ialah
berbuatlah menurut kata hatimu. Bagi seorang idealis, hukum moral ialah setiap
tindakan harus berupa langkah menuju kesempurnaan spiritual.
3. F.
W. S. Schelling (1775-1854 M)
Friedrich Wilhem Joseph Schelling telah mencapai
kematangan sebagai filosuf pada waktu itu ia masih amat muda. Pada tahun 1798
M, ketika usianya baru 23 tahun, ia telah menjadi guru besar di Universitas
Jena. Sampai akhir hidupnya pemikirannya selalu berkembang. Namun,
continuitasnya tetap ada. Dia adalah filosuf idealis Jerman yang telah
meletakkan dasar-dasar pemikiran bagi perkembangan idealisme Hegel. Ia pernah
menjadi kawan Fichte.
Bersama Fishte dan Hegel, Sheiling
adalah idealis Jerman yang terbesar. Pemikirannya pun merupakan mata rantai
antara Fishte dan hegel. Fichte memandang alam semesta sebagai lapangan tugas
manusia dan sebagai basis kebebasan moral, Schelling membahas realitas lebih
obyektif dan menyiapkan jalan bagi idealisme absolute. Dalam pandangan
Scheiling, realitas adalah identik dengan gerakan pemikiran yang berevolusi
secara dialektis. Pada Schelling, juga pada Hegel, realitas adalah proses
rasional evolusi dunia menuju realisasi berupa suatu ekspresi kebenaran
terakhir. Tujuan proses itu adalah suatu keadaan kesadaran diri yang sempurna.
4. G.
W. F. Hegel (1770-1031)
George Wilhem Friedrich Hegel lahir pada tahun 1770 M
di Stuttgart. Ini adalah tahun-tahun Revolusi Prancis yang terkenal itu (1789
M), juga merupakan tahun-tahun berbunganya kesusasteraan Jerman.. Lessing,
Goethe dan Schiller hidup pada periode ini juga.
Idealisme di
Jerman mencapai puncaknya pada masa Hegel.
Ia termasuk
salah satu filosuf barat yang menonjol. Inti filsafat Hegel adalah konsep
Geists (roh, spirit), suatu istilah diilami oleh agamanya. ia berusaha
menghubungkan Yang Mutlak itu dengan Yang Tidak Mutlak. Yang Mutlak itu roh
(jiwa), menjelma pada alam dan dengan demikian sadarlah ia akan dirinya. Roh
itu dalam intinya Idea, artinya: berpikir.
Idea yang berpikir
itu sebenarnya adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Demikianlah proses roh
atau Idea yang disebut Hegel: Dialektika. Proses itu berlaku menurut hukum
akal. Sebab itu yang menjadi aksioma Hegel: apa yang masuk akal (rasional) itu
sungguh riil, dan apa yang sungguh itu masuk akal.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa aliran idealisme
ini aliran yang mengemukakan bahwa sesuatu hal akan muncul berangkat dari ide.
Ungkapan terkenal dalam aliran ini adalah “ segala yang ada hanyalah yang ada”
sebab yang ada itulah adalah gambaran atau perwujudan dari alam pikiran
(bersifat tiruan).
C. Idealisme dan
Filsafat Pendidikan
Aliran filsafat idealisme terbukti cukup banyak
memperhatikan masalah-masalah pendidikan, sehingga cukup berpengaruh terhadap
pemikiran dan praktik pendidikan. William T. Harris adalah tokoh aliran
pendidikan idealisme yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat. Bahkan, jumlah
tokoh filosof Amerika kontemporer tidak sebanyak seperti tokoh-tokoh idealisme
yang seangkatan dengan Herman Harrell Horne (1874-1946). Herman Harrell Horne
adalah filosof yang mengajar filsafat beraliran idealisme lebih dari 33 tahun
di Universitas New York.
Belakangan, muncul pula Michael Demiashkevitch, yang
menulis tentang idealisme dalam pendidikan dengan efek khusus. Demikian pula
B.B. Bogoslovski, dan William E. Hocking. Kemudian muncul pula Rupert C. Lodge
(1888-1961), profesor di bidang logika dan sejarah filsafat di Universitas
Maitoba. Dua bukunya yang mencerminkan kecemerlangan pemikiran Rupert dalam
filsafat pendidikan adalah Philosophy of Education dan studi
mengenai pemikirian Plato di bidang teori pendidikan. Di Italia, Giovanni
Gentile Menteri bidang Instruksi Publik pada Kabinet Mussolini pertama, keluar
dari reformasi pendidikan karena berpegang pada prinsip-prinsip filsafat
idealisme sebagai perlawanan terhadap dua aliran yang hidup di negara itu
sebelumnya, yaitu positivisme dan naturalisme.
Idealisme sangat concern tentang
keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi secara
fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga
untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak
sekadar kebutuhan alam semata. Gerakan filsafat idealisme pada abad ke-19
secara khusus mengajarkan tentang kebudayaan manusia dan lembaga kemanuisaan
sebagai ekspresi realitas spiritual.
Secara filosofis, pendidikan adalah hasil dari
peradaban suatu bangsa yang terus menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita
dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya, sehingga menjadi suatu kenyataan
yang melembaga di dalam masyarakatnya. Dengan demikian, muncullah filsafat
pendidikan yang menjadi dasar bagaimana suatu bangsa itu berpikir, berperasaan,
dan berkelakuan yang menentukan bentuk sikap hidupnya. Adapun proses pendidikan
dilakukan secara terus menerus dilakukan dari generasi ke generasi secara sadar
dan penuh keinsafan.
Sejak idealisme sebagai paham filsafat pendidikan
menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami
tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola pendidikan yang diajarkan
fisafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat
dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat
pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham idealisme terbagai atas
tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan campuran antara
keduanya.
Para murid yang menikmati pendidikan di masa aliran
idealisme sedang gencar-gencarnya diajarkan, memperoleh pendidikan dengan
mendapatkan pendekatan (approach) secara khusus. Sebab,
pendekatan dipandang sebagai cara yang sangat penting. Giovanni Gentile pernah
mengemukakan, “Para guru tidak boleh berhenti hanya di tengah pengkelasan
murid, atau tidak mengawasi satu persatu muridnya atau tingkah lakunya. Seorang
guru mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari anak didik, sehingga kalau
perlu ia berkumpul hidup bersama para anak didik. Guru jangan hanya membaca
beberapa kali spontanitas anak yang muncul atau sekadar ledakan kecil yang
tidak banyak bermakna.
Bagi aliran idealisme, anak didik merupakan seorang
pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham
idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan
ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai
makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini dapat
dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang
menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu
kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya
spiritual.
Pendidikan idealisme untuk individual antara lain
bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang
bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup bahagia,
mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu
membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan
idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia.
Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada
yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan
manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan
yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan
secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan
sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan
dengan Tuhan.
D. PENGARUH IDEALISME DI RUANG KELAS
Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran
idealisme berfungsi sebagai: (1) guru adalah personifikasi dari kenyataan si
anak didik; (2) guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari
siswa; (3) Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik; (4) Guru
haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid; (5) Guru
menjadi teman dari para muridnya; (6) Guru harus menjadi pribadi yang mampu
membangkitkan gairah murid untuk belajar; (7) Guru harus bisa menjadi idola para
siswa; (8) Guru harus rajib beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa
menjadi teladan para siswanya; (9) Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif;
(10) Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar
yang diajarkannya; (11) Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar
sebagaimana para siswa belajar; (12) Guru harus merasa bahagia jika anak
muridnya berhasil; (13) Guru haruslah bersikap dmokratis dan mengembangkan
demokrasi; (14) Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.
Guru menjadi agen penting dalam menolong siswa mengembangkan potensinya
semaksimal mungkin Guru idealis menyajikan bahan belajar warisan budaya yang
terbaik. Membuat siswa berperan dalam menyumbangkan karya mereka untuk
masyarakat. Guru idealis akan menekankan para siswa untuk menggapai cita- cita
tertinggi yang mampu ia raih. Menunjukkan jalan bagi siswa untuk mencapai yang
terbaik dalam hidup. Visi hidup haruslah tinggi sehingga menginspirasi siswa
untuk berjuang lebih keras. Siswa tidak boleh terpengaruh dengan kondisi sosial
yang tidak mendukung pencapaian cita- cita. Siswa diajarkan untuk berani
bermimpi kemudian berjuang keras untuk mewujudkan mimpi- mimpinya.
Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang
beraliran idealisme harus lebih memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman
haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook. Agar supaya
pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual.
Power (1982:89) mengemukakan implikasi filsafat pendidikan idealisme sebagai
berikut :
1). Tujuan
Pendidikan
Pendidikan
formal dan informal bertujuan membentuk karakter, dan mengembangkan bakat atau
kemampuan dasar, serta kebaikan sosial
2). Kedudukan
Siswa
Bebas untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasarnya/bakatnya.
3). Peranan
Guru
Bekerja sama
dengan alam dalam proses pengembangan manusia, terutama bertanggung jawab dalam
menciptakan lingkungan pendidikan siswa
4). Kurikulum
Pendidikan
liberal untuk pengembangan kemampuan rasional, dan pendidikan praktis untuk memproleh
pekerjaan
5). Metode
Diutamakan
metode dialektika, tetapi metode lain yang efektif dapat dimanfaatkan
Menurut Kant, guru harus memandang anak sebagai tujuan, bukan sabagai alat.
Guru harus bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia merupakan contoh yang baik
untuk diterima oleh siswanya. Idealisme memiliki tujuan pendidikan yang pasti
dan abadi, dimana tujuan itu berada di luar kehidupan sekarang ini. Tujuan
pendidikan idealisme akan berada di luar kehidupan manusia itu sendiri, yaitu
manusia yang mampu mencapai dunia cita, manusia yang mampu mencapai dan
menikmati kehidupan abadi, yang berasal dari Tuhan.
E. ALIRAN IDEALISME DALAM PENDIDIKAN
Aliran
filsafat idealisme terbukti cukup banyak memperhatikan masalah-masalah
pendidikan, sehingga cukup berpengaruh terhadap pemikiran dan praktik
pendidikan. William T. Harris adalah tokoh aliran pendidikan idealisme yang
sangat berpengaruh di Amerika Serikat. Bahkan, jumlah tokoh filosof Amerika
kontemporer tidak sebanyak seperti tokoh-tokoh idealisme yang seangkatan dengan
Herman Harrell Horne (1874-1946). Herman Harrell Horne adalah filosof yang
mengajar filsafat beraliran idealisme lebih dari 33 tahun di Universitas New
York.
Belakangan,
muncul pula Michael Demiashkevitch, yang menulis tentang idealisme dalam
pendidikan dengan efek khusus. Demikian pula B.B. Bogoslovski, dan William E.
Hocking. Kemudian muncul pula Rupert C. Lodge (1888-1961), profesor di bidang
logika dan sejarah filsafat di Universitas Maitoba. Dua bukunnya yang
mencerminkan kecemerlangan pemikiran Rupert dalam filsafat pendidikan adalahPhilosophy
of Education dan
studi mengenai pemikirian Plato di bidang teori pendidikan. Di Italia, Giovanni
Gentile Menteri bidang Instruksi Publik pada Kabinet Mussolini pertama, keluar
dari reformasi pendidikan karena berpegang pada prinsip-prinsip filsafat
idealisme sebagai perlawanan terhadap dua aliran yang hidup di negara itu
sebelumnya, yaitu positivisme dan naturalisme.
Idealisme
sangat concern tentang keberadaan sekolah.
Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi secara fundamental terhadap
naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga untuk proses
pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekadar kebutuhan
alam semata. Gerakan filsafat idealisme pada abad ke-19 secara khusus
mengajarkan tentang kebudayaan manusia dan lembaga kemanuisaan sebagai ekspresi
realitas spiritual.
Para murid yang menikmati pendidikan di masa
aliran idealisme sedang gencar-gencarnya diajarkan, memperoleh pendidikan
dengan mendapatkan pendekatan (approach) secara khusus. Sebab, pendekatan
dipandang sebagai cara yang sangat penting. Giovanni Gentile pernah
mengemukakan, “Para guru tidak boleh berhenti hanya di tengah pengkelasan
murid, atau tidak mengawasi satu persatu muridnya atau tingkah lakunya. Seorang
guru mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari anak didik, sehingga kalau
perlu ia berkumpul hidup bersama para anak didik. Guru jangan hanya membaca beberapa
kali spontanitas anak yang muncul atau sekadar ledakan kecil yang tidak banyak
bermakna.
Bagi aliran idealisme, anak didik merupakan
seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut
paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan
merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya
sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini
dapat dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang
menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu
kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya
spiritual.
Sejak idealisme sebagai paham filsafat pendidikan
menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami
tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola pendidikan yang diajarkan
fisafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat
dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat
pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham idealisme terbagai atas
tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan campuran antara
keduanya.
Pendidikan idealisme untuk individual antara lain
bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang
bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup bahagia,
mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu
membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan
idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia.
Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada
yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan
manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan
yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan
secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan
sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan
dengan Tuhan.
Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi
sebagai:
(1) guru adalah
personifikasi dari kenyataan si anak didik;
(2) guru harus seorang
spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa;
(3) Guru haruslah menguasai teknik mengajar
secara baik;
(4) Guru haruslah
menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid;
(5) Guru menjadi teman
dari para muridnya;
(6) Guru harus menjadi
pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar;
(7) Guru harus bisa
menjadi idola para siswa;
(8) Guru harus rajib
beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para
siswanya;
(9) Guru harus menjadi
pribadi yang komunikatif;
(10) Guru harus mampu
mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya;
(11) Tidak hanya murid,
guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar;
(12) Guru harus merasa
bahagia jika anak muridnya berhasil;
(13) Guru haruslah
bersikap dmokratis dan mengembangkan demokrasi;
(14) Guru harus mampu
belajar, bagaimana pun keadaannya.
Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang
beraliran idealisme harus lebih memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman
haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook. Agar supaya
pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual.
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
1. Aliran Idealisme
sangat mementingkan eksistensi akal pikiran manusia sebab pikiran manusialah
yang menjadi sumber ide. Ungkapan terkenal dalam aliran ini adalah “ segala
yang ada hanyalah yang ada” sebab yang ada itulah adalah gambaran atau
perwujudan dari alam pikiran (bersifat tiruan). Sebaik apapun tiruan tidak
seindah aslinya (yaitu ide). Jadi yang baik itu hanya apa yang ada di dalam ide
itu sendiri. Tokoh yang paling terkenal dalam aliran ini adalah Plato (427-374
SM).
2. Guru dalam
hal ini sebagai tenaga pengajar dalam aliran idealisme dituntut untuk memahami
siswa secara total dalam arti tidak hanya sebatas mengajar di kelas saja tetapi
juga memahami siswa di luar sekolah. Guru dituntut untuk masuk ke dalam
pemikiran terdalam dari anak didik, sehingga kalau perlu ia berkumpul hidup
bersama para anak didik.
b.
Saran
Mengingat bahwa
aliran idealisme aliran yang mengemukakan bahwa sesuatu hal akan muncul
berangkat dari ide. Ungkapan terkenal dalam aliran ini adalah “ segala yang ada
hanyalah yang ada” sebab yang ada itulah adalah gambaran atau perwujudan dari
alam pikiran sehingga
guru dituntut untuk lebih memberikan pemahaman tentang hal ini kepada peserta
didik.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, 2007.
Edo Segara. Noel J Coulson: Idealism and Realism;http://edosegara.blogspot.com/2008/04
Louis
O. Kattsoff : Penerjemah, Soejono Soemargono, 1992. Pengantar Filsafat.
Yogyakarta, Tiara Wacana
Power,
Edward J. 1982. Philosophy of Education. New Jersey :
Printice Hall Inc. Englewood Cliffs.
Uyoh Sadulloh, 2007. Pengantar Filsafat
Pendidikan. Bandung : Penerbit Alfabeta, Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar