Senin, 07 November 2011

SISTEM FILSAFAT MORAL


beberapa sistem filsafat moral  Berbagai aliran untuk menentukan ukuran baik  HEDONISME,  EUDEMONISME,  UTILITARISME,  DEONTOLOGI
1.HEDONISME
HEDONISME  Yunani “ Hedone” = baik apa yg memuaskan keinginan kita, apa yg meningkatkan kuantitas kesenangan atau kenikmatan dlm diri kita  Dalam hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam ; manusia menurut kodratnya mencari kesenangan & berupaya menghindari ketidaksenangan  Sebagai ukuran tindakan baik adalah hedone ; kenikmatan & kepuasan rasa  “Tingkah laku atau perbuatan yang melahirkan kebahagiaan dan kenikmatan/kelezatan”. Ada tiga sudut pandang dari faham ini yaitu
v    hedonisme individualistik/egostik hedonism yang menilai bahwa jika suatu keputusan baik bagi pribadinya maka disebut baik, sedangkan jika keputusan tersebut tidak baik maka itulah yang buruk;
v    hedonism rasional/rationalistic hedonism yang berpendapat bahwa kebahagian atau kelezatan individu itu haruslah berdasarkan pertimbangan akal sehat; dan
v    universalistic hedonism yang menyatakan bahwa yang menjadi tolok ukur apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk adalah mengacu kepada akibat perbuatan itu melahirkan kesenangan atau kebahagiaan kepada seluruh makhluk.


Hedonisme adalah sebuah aliran filsafat Yunani – dicetuskan oleh Aristipos dan Epikuros – yang bertujuan menghindari kesengsaraan dan penderitaan dengan menikmati kebahagiaan hidup duniawi sebanyak mungkin. Ketika kekaisaran Romawi menguasai Eropa dan Afrika, muncullah semboyan baru hedonisme, yaitu carpe direm, yang berarti ‘raihlah kenikmatan sebanyak mungkin selagi engkau hidup’. Sejak itu dalam hedonisme kebahagiaan dimaknai sebagai kenikmatan duniawi semata-mata.
Seiring perkembangan zaman dan teknologi, maka kebutuhan manusia pun semakin bertambah dan beragam. Dan ketika tumbuh juga kebutuhan untuk dipandang sebagai manusia eksklusif, yang kemudian dianggap sebagai harga mati maka yang terjadi adalah serangan virus hedonis yang meluas, hingga ke kalangan remaja sekalipun. Mereka – sering tanpa mempedulikan kemampuan orang tua – terseret, atau dengan sengaja menenggelamkan diri, dalam arus hedonisme. Terutama kalangan remaja perkotaan.
Tengok saja, betapa banyaknya remaja yang lalu lalang di mall atau pusat-pusat keramaian dengan telepon genggam model mutakhir di tangan, dengan pakaian dan aksesoris serba mahal, dengan gestur yang membahasakan eksklusifitas diri, berbelanja barang-barang mewah yang mahal dan bermerk. Sudah nyaris menjadi suatu hal yang dimahfumi memang, tapi bukan berarti tidak perlu dicermati dan disikapi dengan benar – agar remaja kita tidak menjadi hedonis-hedonis yang mendewakan segala jenis kenikmatan duniawi. Perlu diingat bahwa hedonisme sangat dekat dengan narkoba dan perilaku seks bebas.
Sebenarnya hedonisme memiliki aspek negatif dan positif, namun orang lebih banyak melihat aspek negatifnya, karena gaya hidup hedonis nampaknya hanya sebuah hal yang berkutat seputar sensasi saja. Ada dua level hedonisme, yaitu level individual dan level sosial. Jika berada dalam level individual, maka masih dapat dikatakan positif, karena bagaimanapun setiap orang berhak untuk mendapatkan kebahagiaan. Terutama jika didahului dengan sebuah usaha dan kerja keras. Hedonisme akan menjadi masalah jika sudah memasuki level sosial, ketika lingkungan sekitar mengalami krisis dan sekian banyak kesulitan hidup, tapi ada sebagian orang sibuk berfoya-foya dengan gaya yang super ‘wah‘ – berkesan tidak berempati pada kondisi sekitar. Dan hedonisme di kalangan remaja terjadi terutama karena remaja belum memiliki filter diri yang baik, masih belum memiliki banyak pengalaman, remaja juga berada dalam masa pencarian diri sementara mereka belum memiliki mekanisme pengendalian diri yang kuat, sehingga lebih rentan terpapar virus hedonisme. Kondisi ini diperburuk oleh kehidupan perkotaan dengan ruangnya yang besar di mana orang-orang yang tidak saling mengenal, sehingga keinginan untuk menunjukkan identitas dan posisi diri semakin besar. Pada remaja, status simbolnya adalah ingin tampil beda, tanpa berpikir apakah itu pantas atau tidak untuk dirinya.
Wajar saja memang jika remaja ingin mencoba sesuatu yang baru, bergaul, dan sebagainya. Namun semua itu harus memiliki batasan-batasan, dan batasannya tidak dapat disamakan dengan yang dimiliki orang dewasa. Jika remaja sudah melampaui batas, maka orang tua wajib menghentikannya. Dengan menetapkan aturan-aturan baru yang mempersempit geraknya, sebaiknya dilakukan secara bertahap namun tetap tegas. Misalnya mengurangi uang jajan, menerapkan jam malam, dan sebagainya.
Remaja berada dalam periode yang sangat labil secara emosional dan dunia mereka tengah bergeser dari keluarga menjadi lingkungan pergaulan. Maka jika mereka ‘berbeda’ dengan kelompoknya, mereka akan  merasa tidak nyaman, takut tidak diterima atau disebut ‘aneh’ dan sebagainya. Orang tua harus dapat mengarahkan pola pikir seperti itu agar mereka tidak terjerumus dan menjadikan hedonisme sebagai gaya hidup.
Orang tua adalah tokoh utama dalam  pembentukan kepribadian seorang remaja. Orang tua harus menanamkan nilai-nilai positif sejak dini pada anak. Orang tua harus terbuka dan tidak memandang remeh kemampuan remaja-remaja mereka dalam merespon keterbukaan tersebut. Dukungan yang kuat dari keluarga akan membentuk pribadi yang kuat pula, sehingga menjadi tameng dari hal-hal negatif di luar rumah. Dukungan dapat membuat anak merasa nyaman dan memiliki self-esteem yang kuat.
Namun bila remaja kita terlanjur konsumtif, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh para orang tua:
Berdialog. Komunikasi adalah kunci utama dalam terciptanya hubungan yang harmonis antara anak dengan orang tua. Namun, masih banyak sekali orang tua yang merasa tidak harus mendiskusikan segala seuatu dengan anaknya. Sehingga yang terjadi adalah komunikasi satu arah, di mana tugas tinggal mematuhi saja. Padahal larangan tanpa didasari alasan yang jelas dan logis hanya akan memicu pemberontakkan dari si anak. Dengan berdiskusi orang tua menjadi tahu apa yang dirasakan, diinginkan, dan dipikirkan oleh anak. Dengan berbicara, anak juga menjadi tahu, mengerti, dan memahami kondisi-kondisi yang tengah dialami orang tuanya.
Pembatasan uang saku. Hedonisme identik dengan materi, oleh karena itu orang tua harus dapat menetapkan batasan dengan cermat dan cerdas. Pembatasan ini dimaksudkan agar anak tidak menjadi pribadi yang instan.
Melakukan kegiatan positif. Orang tua perlu mendorong anak melakukan kegiatan-kegiatan positif yang dapat mengembangkan bakat dan potensi anak. Dengan demikian anak lebih fokus untuk berprestasi.
Karena anak banyak menghabiskan waktunya di sekolah, maka pihak sekolah – dalam hal ini para guru dan pendidik – juga memiliki peranan yang besar. Diharapkan sekolah dapat menetapkan peraturan yang membuat anak-anak berpenampilan sederhana dan sesuai dengan usia mereka. Misalnya seragam sekolah untuk siswi tidak boleh pendek,  sepatu dan tas tidak boleh bermerk, tidak boleh membawa kendaraan bermotor dan barang-barang elektronik yang mahal ke sekolah. Selain itu juga memberikan pelajaran budi pekerti dan mewajibkan semua siswanya menabung di koperasi. Agar mereka selalu diingatkan bahwa masa depan yang cerah tidak dapat diraih dengan berfoya-foya, bahwa kebahagiaan sama sekali tidak identik dengan hedonisme.
Contoh :
                 

Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya 1x, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalanani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Dari golongan penganut paham ini lah muncul Nudisme (gaya hidup bertelanjang). Pandangan mereka terangkum dalam pandangan Epikuris yang menyatakan,"Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena besok engkau akan mati."
Contoh :
             

2. EUDEMONISME (eudaimonia = kebahagiaan)
EUDEMONISME Yunani “ dalam setiap kegiatan manusia mengejar suatu tujuan Impliksinya : tindakan dikatakan baik apabila bertujuan untuk kebaikan /mempunyai tujuan yang baik . Ajarannya : yang baik bagi manusia adalah yang mmebuat dia bahagia
Jalan pikirannya : manusia dalam bertindak ada dua tujuan :
  • tujuan demi tujuan selanjutnya
  • tujuan demi dirinya sendiri (kebahagian)

Menurut Aristoteles :
Kebahagiaan dicapai dalam melakukan sesuatu , yakni dengan mengembangkan secara optimal segala potensi yang ada pada kita
Tindakan itu (tiga bentuk hidup) ialah :
  • Hidup mencari nikmat
  • Hidup berpolitik
  • Hidup berfilsafat
Kritik : selai egois juga tidak mencukupi sebagai pertanggung jawaban moral suatu tindakan
           Eudemonisme adalah suatu konsep etika yang dilahirkan Aristoteles dengan menitiktekankan “kebahagiaan” sebagai tujuan tertinggi hidup manusia. Perlu diingat, kebahagiaan dalam pemahaman Ariatotelesserta pada umumnya (untuk tidak dikatakan seluruhnya) filsuf Yunani pada masa itu tak sama dengan apa yang dipahami mengenai kebahagiaan dalam arti sekedar “feeling happy” seperti kebanyakan pemahaman orang saat ini, atau pun seperti bagaimana Hedonisme memandangnya. Kebahagiaan ala Aristoteles  adalah suatu keadaan manusia di mana “yang seharusnya ada” memang “ada padanya”. Sederhananya, manusia bahagia adalah ia yang secara “das sein” mampu menyelaraskan  dengan apa yang menjadi “das sollen”-nya.
Aristoteles membagi tujuan menjadi dua: yang dicapai untuk sesuatu yang lebih jauh lagi dan yang dicapai sebagai dirinya sendiri. Kebahagiaan, bagi Aristoteles, merupakan satu-satunya tujuan hidup tertinggi yang berusaha dicapai sebagai dirinya sendiri oleh manusia. Sebab setelah kebahagiaan, tidak masuk akal manusia akan membutuhkan hal lain bagi dirinya. Namun bagaimanakah seseorang dapat mencapai kebahagiaan itu?
Menurut Aristoteles, manusia akan mencapai kebahagiaan hanya jika ia mampu mengaktualisasikan potensi khas manusianya, yakni dengan berkontemplasi; memandang kebenaran. Namun kontemplasi saja tidak cukup. Untuk mencapai kebahagiaan yang utuh, manusiayang tidak hanya sebagai makhluk individual, melainkan juga sebagai makhluk sosial (zoon politicon)- harus juga menjalankan aktifitas dalam kerangka fungsi sosialnya dengan baik (praxis). Dengan demikian kehidupan bersama yang baik sebagai syarat untuk mencapai kebahagaiaan yang utuh itu dapat tercapai. Dalam rangka inilah manusia memerlukan apa yang disebut sebagai keutamaan (aretẻ) yang berfungsi untuk menentukan apa yang harus dilakukannya secara tepat.
Keutamaan-keutamaan
a. Keutamaan Intelektual
Ada dua fungsi dari rasio menusia menurut Aristoteles, yakni untuk mengenal kebenaran (bersifat universal) dan untuk mengetahui tindakan mana yang tepat untuk dilakukan pada saat-saat tertentu (parsial). Dalam fungsinya yang pertama itu, manusia akan mendapatkan kebijaksanaan teoretis yang disebut Aristoteles sebagais o p h i a. Dengan
sophia ini manusia akan mampu mendapatkan pengetahuan mengenai kebenaran-
kebenaran yang bersifat universal dan tetap, seperti halnya hukum-hukum alam dan Allah. Pada titik inilah keutamaan intelektual itu memiliki porsi besarnya. Sementara dalam fungsinya yang disebutkan terakhir, manusia akan mendapatkan suatup h r o n ẻ s i s (kebijaksanaan praktis) yang berfungsi menuntun tindakannya ke arah yang tepat.
b. Keutamaan Moral
Manusia memiliki tidak hanya akal-budi saja (khas manusia), melainkan juga di dalam dirinya terdapat nafsu, keinginan, kebutuhan, dan lain sebagainya yang turut berperan penting dalam mempengaruhi tindakannya. Dalam melakukan tindakan- tindakannya, manusia tak jarang terjebak pada posisi yang ekstrem. Misalkan saja kita memiliki sejumlah harta, kita dapat saja terlalu sayang terhadap harta itu sehingga mengakibatkan kita kikir; atau sebaliknya, kita dapat juga terlalu boros karena menganggap diri kita telah memiliki sejumlah harta yang cukup atau bahkan lebih dari banyak. Dua sikap ekstrem inilah yang harus dielakkan dari tindakan keseharian kita agar kita dapat mencapai kehidupan yang baik. Sebagai jalan tengah dari tamsil mengenai dua sikap ekstrem itu adalah kedermawanan. Kedermawanan bukan berarti pemborosan, sekaligus tentu bukan kekikiran. Inilah yang dapat dicapai oleh manusia dengan keutamaan moralnya berlandaskanp hronẻsis tadi.
Namun bagaimana seseorang dapat mengembangkan keutamaan moralnya? Sebagaimana etika yang menurut Aristoteles tak mungkin diajarkan, demikian pula keutamaan moral juga tidak. Keutamaan akan didapatkan seseorang dari pengalaman kesehariannya dalam bertindak yang sesuai dan berdasar kepada keutamaan itu sendiri.
Sekilas kita mendapati suatu “lingkaran setan” dari pernyataan ini. Namun yang
dimaksudkan oleh Aristoteles di sini adalah bahwa seseorang, pada awalnya, untuk
mencapai keutamaan itu dalam dirinya sendiri haruslah mula-mula mengacu pada
keutamaan “objektif” (semacam aturan, norma) yang dianggap baik oleh orang banyak.
Dari sini lambat laun ia akan mencapai keutamaan-keutamaan itu sebagai suatu sikap watak yang melekat dalam dirinya sendiri, dengan tidak perlu lagi mengacu terhadap aturan-aturan yang ada. keyakinan akan Ide-ide abadi yang diusung oleh Plato. Menurut Plato, ketika manusia harus berbuat baik dan benar, maka kebaikan dan kebenaran itu sebenarnya didapatkan sesuai dengan ide-ide abadi yang kembali diingatnya melalui tahapan-tahapan pengalaman yang dilaluinya (baca toeri pengenalan Plato). Dengan demikian, kebenaran (termasuk dalam perkara tindakan manusia dalam pembahasan etika) telah memiliki suatu gambaran objektifnya di alam Ide sana yang bernilai sebagai dirinya sendiri tanpa dipengaruhi oleh otoritas rasio manusia yangmeminjam Heidegger- “being there”, sangat bergantung terhadap konteks.
Aristoteles menyanggah pendirian itu. Menurutnya, hal-hal yang empiris mampu diabstraksikan oleh manusia menjadi konsep-konsep universal tentang substansi sesuatu tanpa harus adanya Ide-ide tentang hal itu sebelumnya. Di sinilah peran aretai dianoetikai (keutamaan intelektual) manusia memainkan perannya. Berangkat dari alasan itulah kemudian Aristoteles memberikan garis tegas yang memotong sama sekali hubungan antarat h e o r i a denganp r a x i s. Maka ditinjau dari sisi ini, dalam batasan tertentu kiranya kita bisa mempertemukan Aristoteles dengan eksistensialisme.
Satu hal lagi yang sangat perlu ditekankan adalah pemaparan Aristoteles mengenai Allah. Dalam hal ini jangan sekali-kali menjumbuhkan pemaknaan Allah ala Aristoteles dengan apa yang dipahami oleh agama-agama “langit”, meski pada kenyataannya
Aristoteles juga seorang “monoteis” dalam arti yang agak aneh, sebab dalam beberapa
kesempatan ia masih menyebut “dewa-dewa” (jamak). Monoteisme Aristoteles ini dapat
dilihat dari gagasan-gagasannya yang masyhur, seperti tentang Penggerak Pertama yang
tak digerakkan (Causa Prima).
Gagasan tentang Causa Prima itu tadi kiranya sekaligus memberikan penjelasan kepada kita bahwa dalam keyakinannya terhadap Yang Ada-Absolut (ilahi) itu bersifat deistis. Dalam hal ini, jika kita mencoba memandangnya dari kacamata Islam (tentu saja
ini tidak dilakukan atas dasar keinginan untuk menghakimi Aristoteles) jelas tidak akan menemukan kesesuaiannya, mengingat doktrin Islam menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta, dan dengan demikian maka apa yang diciptakan-Nya tentulah memiliki permulaan dan penghabisan. Aristoteles tidak demikian. Dalam metafisikanya ia menjelaskan bahwa alam raya ini abadi, seperti abadinya Penggerak Pertama yang tak digerakkan itu.
Namun terlepas dari perdebatan metafisika itu, sebenarnya kita dapat menggali
banyak hal dari Aristoteles yang spiritnya senada dengan apa yang dimiliki oleh agama-
agama “langit” yang ada, khususnya Islam. Cara Aristoteles memaknai kebahagiaan
dengan sedemikian rupa; bahwa kebahagiaan adalah bentuk akltualisasi diri dengan mendasarkan tindakan-tindakan keseharian kepada keutamaan-keutamaan seperti yang telah dijelaskan, kiranya dapat dilihat sebagai suatu nilai yang tidak berlebihan untuk disebut luar biasa dari pencapaian filosofisnya.
Perlu diingat kembali, kebahagiaan ala Aristoteles sama sekali berbeda dengan kesenangan dalam terminologi hedonisme. Aristoteles tidak melihat kebahagiaan sebagai sesuatu yang harus dicapai oleh manusiah a n y a sebagai individu (egois), melainkan kebahagiaan yang dicapai seseorang harus pula bernilai bagi pencapaian kehidupan bersama yang baik. Artinya, tidak utuh kebahagiaan seseorang selama ia tidak dapat mengaktualisasikan diri dalam kehidupan sosial bersama lingkungan-masyarakatnya .


3. UTILITARISME ( Utilitas = berguna)
  Prinsip utilitarisme adalah jelas &  suatuèrasional  tindakan dikatakan baik jika bermanfaat atau berguna bagi orang lain  Aliran ini banyak yang tidak menerima karena apa yang bermanfaat bagi seseorang mungkin tidak bermanfaat bagi orang lain.
Ajarannya : yang baik adalah yang membawa manfaat bagi orang banyak
Keunggulannya : tidak bersifat egois, melainkan universal
Kelemahannya : tidak menjamin keadilan dan hak-hak manusia
Anggapan bahwa klasifikasi kejahatan harus didasarkan atas kesusahan atau penderitaan yang diakibatkannya terhadap terhadap para korban dan masyarakat.
Menurut kodratnya manusia menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Kebahagiaan tercapai jika manusia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan.
 Karena menurut kodratnya tingkah laku manusia terarah pada kebahagiaan, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan semua orang
 Moralitas suatu tindakanharus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapau kebahagiaan umat manusia. (The greatest happiness of the greatest number)
            4. DEONTOLOGI (deon = wajib)
 merupakan suatu teori atau studi tentang kewajiban moral Moralitas dari suatu keputusan etis yg sepenuhnya terpisah dari konsekuensinya Ex. Seorang perawat yg berkeyakinan bahwa menyampaikan suatu kebanaran merupakan hal yg sangat penting & tetap harus disampaikan, tanpa peduli apakah hal tersebut mengakibatkan orang lain tersinggung atau bahkan syok . Ajarannya : baik buruknya suatu tindakan tidak tergantung akibatnya, melainkan ada cara bertindak yang begitu saja wajib atau dilarang.
Kelemahannya :
  • Sifat mengharuskannya
  • Bisa fanatisme buta
Deontologis peraturan
Ajarannya : norma moral berlaku begitu saja (menurut Immanuel kant, berlaku imperatif katagoris)
Kesulitan :
  • Tentang nilai suatu tindakan yang berasal dari suatu kecenderungan spontan dan motif berbuat baik
  • Tentang tanggung jawab manusia terhadap akibat dari suatu tindakan
Jalan keluar :
Immanul Kant : bertindaklah sedemikian rupa sehingga orang lainpun dapat bertindak demikian
Willian D Ross :  harus dibedakan kewajiban yang berlaku prima facie dan kewajiban yang sebenarnya
Deontologis tindakan (disebut juga etika situasi)
Ajarannya : setiap situasi adalah unik
  • Yang baik adalah yang baik dalam situasi tertentu
  • Membedakan norma moral umum dan norma moral konkret
Kritik : tindakan sesuai dengan rasionalitas kesadaran moral
Kesimpulan : dari semua teori penting yang dibahas tidak terdapat satu sistem pun sama sekali memuaskan, yang bisa menjadi jawaban satu-satunya atas pertanyaan dasar kita.
Teori Deontologi, adalah teori yang dijelaskan secara logis oleh filsuf Jerman yaitu Immanuel Kant. Kata deon berasal dari Yunani yang berarti kewajiban, sehingga dapat dikatakan bahwa teori ini menekankan pada pelaksanaan kewajiban. Suatu perbuatan akan baik apabila didasari atas pelaksanaan kewajiban, jadi selama melakukan kewajiban sudah melakukan kebaikan, tanpa memikirkan akibat atau konsekuensinya, atau dengan kata lain suara terbanyak bukanlah ukuran untuk menentukan kebaikan.
Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut: Terminius Techicus, bahwa etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. Dan Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia. Etika dapat dijadikan sumber nilai dan agama (bukan agamanya, tapi aksesoris dari implementasi agama tersebut)
Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:
1. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak (The principles of morality, including the science of good and the nature of the right)
2. Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan manusia. (The rules of conduct, recognize in respect to a particular class of human actions)
3. Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral seba¬gai individual. (The science of human character in its ideal state, and moral principles as of an individual)
4. Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN 1.     Latar belakang Terdapat banyak alasan untuk mempelajari filsafat pendidikan, khususnyaapabila ada pertanyaa...