1.
Hati
Nurani sebagai Fenomena Moral
Contoh
Seorang
hakim telah menjatuhkan vonis dalam suatu perkara pengadilan yang penting.
Malam sebelumnya ia didatangi oleh wakil dari pihak terdakwa. Orang itu
menawarkan sejumlah uang, bila si hakim bersedia memenangkan pihaknya. Hakim
yakin bahwa terdakwa itu bersalah. Bahan bukti yang telah dikumpulkan dengan
jelas menunjukkan hal itu. Tapi ia tergiur oleh uang begitu banyak, sehingga
tidak bisa lain daripada menerima penawaran itu. Ia telah memutuskan terdakwa
tidak bersalah dan membebaskannya dari segala tuntutan hukum. Kejadian ini
sangat menguntungkan untuk dia. Sekarang ia sanggup menyekolahkan anaknya ke
luar negeri dan membeli rumah yang sudah lama diidam-idamkan oleh istrinya.
Namun demikian, ia tidak bahagia. Dalam batinnya ia merasa gelisah. Ia
seolah-olah “malu” terhadap dirinya sendiri. Bukan karena ia takut kejadian itu
akan diketahui oleh atasannya. Selain anggota keluarga terdekat tidak ada yang
tahu. Prosedurnya begitu hati-hati dan teliti, sehingga kasus suap itu tidak
akan pernah diketahui oleh orang lain. Namun kepastian ini tidak bisa
menghilangkan kegelisahannya. Baru kali ini ia menyerah terhadap godaan semacam
itu. Sampai sekarang ia selalu setia pada sumpahnya ketika dilantik dalam
jabatan yang luhur ini. Mengapa kali ini ia sampai terjatuh ? Ia merasa marah
dan mual terhadap dirinya sendiri.
Thomas
Grissom adalah seorang ahli fisika berkebangsaan Amerika Serikat. Selama hampir
15 tahun ia bekerja dalam usaha pengembangan dan pembangunan generator neutron.
Sedemikian besar semangatnya, sehingga ia hampir-hampir lupa akan tujuan
benda-benda yang dibuatnya itu, yaitu menggalakkan dan menghasilkan
senjata-senjata nuklir. Lama-kelamaan hati nuraninya mulai merasa terganggu,
khususnya setelah ia membaca dalam karya sejarahwan tersohor, Arnold Toynbee,
berjudul A Study of History, kalimat
berikut ini: “Bila orang mempersiapkan perang, sudah ada perang”. Baru pada
saat itu ia menyadari, ia sedang memberikan bantuannya kepada suatu perang nuklir
yang mampu memusnahkan sebagian besar permukaan bumi. Padahal, seluruh
kepribadiannya memberontak terhadap kemungkinan terjadinya hal serupa itu. Ia
membicarakan kegelisahan batinnya dengan istri. Ia mempertimbangkan
konsekuensi-konsekuensi finansial, bila ia berhenti bekerja di Laboratorium
Nasional Amerika. Tentu ia menyadari juga, bila ia keluar, tempatnya akan diisi
oleh orang lain yang akan melanjutkan pekerjaannya, sehingga tindakan protesnya
tidak efektif sama sekali. Bagaimanapun Grissom memutuskan ia tidak bisa
bekerja lagi untuk industri persenjataan nuklir. Ia menjadi dosen pada
Evergreen State College di Olympia, Washington. Gajinya hanya kira-kira separuh
dari 75.000 dolar yang diperolehnya di Laboratorium Nasional.
a.
Kesadaran
dan Hati Nurani
Hanya
manusia mempunyai kesadaran. Dengan kesadaran kita maksudkan kesanggupan
manusia untuk mengenal dirinya sendiri dan karena itu berefleksi tentang
dirinya.
Untuk
menunjukkan kesadaran, dalam bahasa Latin dan bahasa-bahasa yang diturunkan
daripadanya, dipakai kata conscientia.
Kata itu berasal dari kata kerja scire
(mengetahui) dan awalan con- (bersama
dengan, turut). saja Dengan demikian conscientia
sebenarnya berarti “turut mengetahui” dan mengingatkan kita pada gejala
“penggandaan” yang disebut tadi: bukan saya melihat pohon itu, tapi saya juga
“turut mengetahui” bahwa sayalah yang melihat pohon itu. Sambil melihat, saya
sadar akan diri sendiri sebagai subyek yang melihat. Nah, kata conscientia yang sama dalam bahasa Latin
(dan bahasa-bahasa yang serumpun dengannya) digunakan juga untuk menunjukkan
“hati nurani”. Dalam hati nurani berlangsung juga penggandaan yang sejenis.
Bukan saja manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat moral (baik atau
buruk), tapi ada juga yang “turut mengetahui” tentang perbuatan-perbuatan moral
kita. Dalam diri kita, seolah-olah ada instansi yang menilai dari segi moral
perbuatan-perbuatan yang kita lakukan. Hati nurani merupakan semacam “saksi”
tentang perbuatan-perbuatan moral kita. Kenyataan itu diungkapkan dengan baik
melalui kata Latin conscientia.
b.
Hati
Nurani Retrospektif dan Hati Nurani Prospektif
Hati
nurani retrospektif memberikan penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah
berlangsung di masa lampau. Hati nurani ini seakan-akan menoleh ke belakang dan
menilai perbuatan-perbuatan yang sudah lewat.
Contoh pada awal bab ini menyangkut hati nurani retrospektif. Hati nurani dalam
arti retrospektif menuduh atau mencelah, bila perbuatannya jelek, dan
sebaliknya, memuji atau memberi rasa puas, bila perbuatannya dianggap baik.
Jadi, hati nurani ini merupakan semacam instansi kehakiman dalam batin kita
tentang perbuatan yang telah berlangsung.
Hati
nurani prospektif melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita
yang akan datang. Hati nurani dalam
arti ini mengajak kita untuk melakukan sesuatu atau seperti barangkali lebih
banyak terjadi mengatakan “jangan” dan melarang untuk melakukan sesuatu. Di
sini pun rupanya aspek negatif lebih mencolok. Dalam hati nurani prospektif ini
sebenarnya terkandung semacam ramalan.
Simpulan
bahwa hati nurani terutama berbicara dalam perbuatan itu sendiri pada saat
dilakukan. Tapi bisa terjadi suatu orientasi ke masa lampau atau suatu
orientasi ke masa depan: ke perbuatan yang sudah berlangsung atau ke perbuatan
yang akan berlangsung lagi.
c.
Hati
Nurani Bersifat Personal dan Andipersonal
Hati
nurani bersifat personal, artinya, selalu berkaitan erat dengan pribadi
bersangkutan. Norma-norma dan cita-cita yang saya terima dalam hidup
sehari-hari dan seolah-olah melekat pada pribadi saya, akan tampak juga dalam
ucapan-ucapan hati nurani saya.
Hati
nurani diwarnai oleh kepribadian kita. Hati nurani akan berkembang juga bersama
dengan perkembangan seluruh kepribadian kita: sebagai orang setengah baya yang
sudah banyak pengalaman hidup tentu hati nurani saya bercorak lain daripada
ketika masih remaja. Ada alasan lain lagi untuk mengatakan bahwa hati nurani
bersifat personal, yaitu hati nurani hanya berbicara atas nama saya.
Karena
aspek adipersonal itu, orang beragama kerap kali mengatakan bahwa hati nurani
adalah suara Tuhan atau bahwa Tuhan berbicara melalui hati nurani. Ungkapan
seperti itu dapat dibenarkan. Bagi orang beragama hati nurani memang memiliki
suatu dimensi religius. Kalau ia mengambil keputusan atas dasar hati nurani,
artinya kalau ia sungguh-sungguh yakin bahwa ia harus berbuat demikian dan
tidak bisa lain tanpa menghancurkan integritas pribadinya, maka ia akan mengambil
keputusannya di hadapan Tuhan.
Seperti
akan dijelaskan lagi, hati nurani tidak melepaskan kita dari kewajiban untuk
bersikap kritis dan mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kita secara
obyektif. Tidak dapat dikatakan bahwa hati nurani merupakan hak istimewa orang
beragama saja. Setiap orang mempunyai hati nurani karena ia manusia. Kenyataan
itu justru menyediakan landasan untuk mencapai persetujuan di bidang etis
antara semua manusia, melampaui segala perbedaan mengenai agama, kebudayaan,
posisi ekonomis, dll.
d.
Hati
nurani sebagai norma moral yang subyektif
Terdapat
suatu tendensi kuat dalam filsafat untuk mengakui bahwa hati nurani secara
khusus harus dikaitkan dengan rasio. Kami juga berpendapat demikian. Alasannya,
karena hati nurani memberi suatu penilaian, artinya, suatu putusan (judgement). Ia menegaskan: ini baik
dan harus dilakukan atau itu buruk dan tidak boleh dilakukan. Mengemukakan
putusan jelas merupakan suatu fungsi dari rasio.
Dapat
disimpulkan bahwa tidak pernah kita boleh bertindak bertentangan dengan hati
nurani. Hati nurani selalu harus diikuti, juga kalau-secara obyektif-ia sesat.
Akan tetapi, manusia wajib juga mengembangkan hati nurani dan seluruh
kepribadian etisnya sampai menjadi matang dan seimbang. Pada orang yang
sungguh-sungguh dewasa dalam bidang etis, putusan subyektif dari hati nurani
akan sesuai dengan kualitas obyektif dari perbuatannya. Pada orang serupa itu,
yang baik secara subyektif akan sama dengan yang baik secara obyektif. Karena
itu perlu kita pelajari lagi cara bagaimana keadaaan ideal itu bisa dicapai.
e.
Pembinaan
hati nurani
Filsuf
Prancis Gabriel Madinier (1895-1958) mengemukakan beberapa pikiran yang pantas
diperhatikan. Tempat yang serasi untuk pendidikan moral adalah keluarga,
bukan sekolah. Pendidikan hati nurani, itu harus dijalankan demikian
rupa sehingga si anak menyadari tanggung jawabnya sendiri.
Tujuan
akhir pendidikan sebagai keseluruhan adalah kemandirian serta otonomi anak
didik, demikian juga di bidang moral. Anak-anak
harus belajar menjalankan kewajiban mereka karena keyakinan, bukan karena
paksaan dari luar. Ketakutan akan sanksi yang mewarnai permulaan kehidupan
moral, lama-kelamaan harus diganti dengan cinta akan nilai-nilai.
2.
Hati
nurani dan “Superego”
1.
Pandangan
Freud tentang struktur kepribadian
Instansi
ini masing-masing adalah Id, Ego, Superego. Superego itu berhubungan erat
dengan apa yang kita sebut dalam etika dengan nama “hati nurani”.
a. Id
Freud
memakai istilah “id” untuk menunjukkan ketaksadaran. Tentang Id berlaku: bukan
aku (=subyek) yang melakukan dalam diri aku. Bagi Freud, adanya Id telah
terbukti terutama dengan tiga cara, yaitu:
- Faktor
Psikis, yang paling jelas membuktikan adanya Id adalah: mimpi. Bukunya yang pertama di bidang psikoanalisis justru membahas
mimpi (Penafsiran
mimpi, 1900). Tentang mimpi berlaku bahwa
”bukan sayalah yang bermimpi tapi ada yang bermimpi dalam diri saya”. Bila
bermimpi, si pemimpi seolah-olah hanya merupakan penonton pasif. Tontonan itu
disajikan kepadanya oleh ketaksadaran.
- Adanya
Id terbukti juga, jika kita pelajari perbuatan-perbuatan yang pada pandangan
pertama rupanya remeh saja dan tidak punya arti, seperti perbuatan keliru,
salah ucap, “keseleo Lidah”, lupa, dsb. Menurut pendapat Freud,
perbuatan-perbuatan seperti itu tidak kebetulan, tapi berasal dari kegiatan
psikis yang tak sadar.
- Id
terdiri dari naluri-naluri bawaan, pada mulanya Id sama sekali tidak
terpengaruh oleh kontrol pihak subyek. Id harusnya melakukan apa yang disukai.
Kata Freud: Id dipimpin oleh “prinsip kesenangan” (the pleasure principle). Id sama sekali tidak mengenal waktu (timeless).
Namun perlu ditekankan
bahwa Id atau ketaksadaran merupakan suatu kenyataan psikologis yang normal dan
universal. Hidup psikis setiap manusia didasarkan atas Id itu.
b. Ego
Aktivitas
Ego bisa sadar, prasadar, maupun tak sadar. Contoh aktivitas sadar boleh
disebut: persepsi lahiriah (saya melihat pohon di situ), persepsi batiniah
(saya merasa sedih) dan proses-proses intelektual.
Contoh
tentang aktivitas prasadar, dapat dikemukakan fungsi ingatan (saya mengingat
kembali nama yang tadinya saya lupa).
Dan
aktivitas tak sadar dijalankan oleh Ego melalui mekanisme-mekanisme pertahanan
(defence
mechanisms), contoh: orang yang dalam hati
kecilnya sangat takut pada kenyataannya berlagak gagah berani. Ego dikuasai
oleh “prinsip realitas” kata freud, sebagaimana tampak dalam pemikiran yang
obyektif, yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan sosial, yang bersifat rasional
dan mengungkapkan diri melalui bahasa.
Tugas
Ego (bukan Id dan naluri-naluri) untuk mempertahankan kepribadiannya sendiri
dan menjamin penyesuaian dengan alam sekitar, lagi pula untuk memecahkan
konflik-konflik dengan realitas dan konflik-konflik dengan yang tidak cocok
satu sama lain.
c. Superego
Superego
adalah instansi yang melepaskan diri dari Ego dalam bentuk observasi-diri,
kritik-diri, larangan dan tindakan refleksi lainnya, pokoknya, tindakan
terhadap dirinya sendiri. Superego dibentuk selama masa anak melalui jalan
internalisasi (pembatinan) dari faktor-faktor represif yang dialami subyek sepanjang
perkembangannya. Faktor-faktor yang pernah tampil sebagai “asing” bagi si
subyek, kemudian diterima olehnya dan dianggap sebagai sesuatu yang berasal
dari dirinya sendiri. Larangan, perintah,
anjuran, cita-cita, dsb yang berasal dari luar (para pengasuh, khususnya orang
tua), diterima sepenuhnya oleh si subyek, sehingga akhirnya terpancar dari
dalam. “Engkau tidak boleh mencuri” (larangan dari orang tua) akhirnya menjadi
“Aku tidak boleh mencuri”. Engkau harus mengembalikan barang milik orang lain”
(perintah dari orang tua) akhirnya menjadi “Aku harus mengembalikan barang
milik orang lain”. “Anak putri tidak boleh memanjat pohon” (teguran dari kakak)
menjadi “Saya tidak boleh memanjat pohon, karena hal itu tidak patut untuk anak
perempuan.
2. Hubungan
hati nurani dengan Superego
Tentang
hubungan antara hati nurani dan Superego dapat dikatakan sebagai berikut.
Sebaiknya Superego dimengerti sebagai dasar psikologis bagi fenomena etis yang
kita sebut “hati nurani” atau lebih tepat kita katakan, sebagai dasar psikologis
antara lain bagi fungsi seperti hati nurani yang etis. Sebab, menurut pandangan
Freud, Superego bersifat lebih luas daripada hati nurani saja.
Ia
mengatakan bahwa selain hati nurani Superego meliputi juga fungsi-fungsi
observasi-diri dan “ideal dari aku” (gambaran yang dipakai subyek untuk
mengukur dirinya dan sebagai standar yang harus dikejar). Tidak ada keberatan
juga untuk menerima penjelasan Freud tentang asal-usul Superego. Bisa saja
Superego terbentuk karena internalisasi dari perintah-perintah dan
larangan-larangan orangtua. Harus disetujui dengan Freud bahwa fungsi-fungsi
psikas manusia pada permulaan hidupnya praktis sama dengan nol dan dari situ
mengalami suatu perkembangan berbelit-belit sampai akhirnya mencapai taraf
kedewasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar