Senin, 07 November 2011

Hati Nurani sebagai Fenomena Moral

1.    Hati Nurani sebagai Fenomena Moral
Contoh
Seorang hakim telah menjatuhkan vonis dalam suatu perkara pengadilan yang penting. Malam sebelumnya ia didatangi oleh wakil dari pihak terdakwa. Orang itu menawarkan sejumlah uang, bila si hakim bersedia memenangkan pihaknya. Hakim yakin bahwa terdakwa itu bersalah. Bahan bukti yang telah dikumpulkan dengan jelas menunjukkan hal itu. Tapi ia tergiur oleh uang begitu banyak, sehingga tidak bisa lain daripada menerima penawaran itu. Ia telah memutuskan terdakwa tidak bersalah dan membebaskannya dari segala tuntutan hukum. Kejadian ini sangat menguntungkan untuk dia. Sekarang ia sanggup menyekolahkan anaknya ke luar negeri dan membeli rumah yang sudah lama diidam-idamkan oleh istrinya. Namun demikian, ia tidak bahagia. Dalam batinnya ia merasa gelisah. Ia seolah-olah “malu” terhadap dirinya sendiri. Bukan karena ia takut kejadian itu akan diketahui oleh atasannya. Selain anggota keluarga terdekat tidak ada yang tahu. Prosedurnya begitu hati-hati dan teliti, sehingga kasus suap itu tidak akan pernah diketahui oleh orang lain. Namun kepastian ini tidak bisa menghilangkan kegelisahannya. Baru kali ini ia menyerah terhadap godaan semacam itu. Sampai sekarang ia selalu setia pada sumpahnya ketika dilantik dalam jabatan yang luhur ini. Mengapa kali ini ia sampai terjatuh ? Ia merasa marah dan mual terhadap dirinya sendiri.
Thomas Grissom adalah seorang ahli fisika berkebangsaan Amerika Serikat. Selama hampir 15 tahun ia bekerja dalam usaha pengembangan dan pembangunan generator neutron. Sedemikian besar semangatnya, sehingga ia hampir-hampir lupa akan tujuan benda-benda yang dibuatnya itu, yaitu menggalakkan dan menghasilkan senjata-senjata nuklir. Lama-kelamaan hati nuraninya mulai merasa terganggu, khususnya setelah ia membaca dalam karya sejarahwan tersohor, Arnold Toynbee, berjudul A Study of History, kalimat berikut ini: “Bila orang mempersiapkan perang, sudah ada perang”. Baru pada saat itu ia menyadari, ia sedang memberikan bantuannya kepada suatu perang nuklir yang mampu memusnahkan sebagian besar permukaan bumi. Padahal, seluruh kepribadiannya memberontak terhadap kemungkinan terjadinya hal serupa itu. Ia membicarakan kegelisahan batinnya dengan istri. Ia mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi finansial, bila ia berhenti bekerja di Laboratorium Nasional Amerika. Tentu ia menyadari juga, bila ia keluar, tempatnya akan diisi oleh orang lain yang akan melanjutkan pekerjaannya, sehingga tindakan protesnya tidak efektif sama sekali. Bagaimanapun Grissom memutuskan ia tidak bisa bekerja lagi untuk industri persenjataan nuklir. Ia menjadi dosen pada Evergreen State College di Olympia, Washington. Gajinya hanya kira-kira separuh dari 75.000 dolar yang diperolehnya di Laboratorium Nasional.
a.    Kesadaran dan Hati Nurani
Hanya manusia mempunyai kesadaran. Dengan kesadaran kita maksudkan kesanggupan manusia untuk mengenal dirinya sendiri dan karena itu berefleksi tentang dirinya.
Untuk menunjukkan kesadaran, dalam bahasa Latin dan bahasa-bahasa yang diturunkan daripadanya, dipakai kata conscientia. Kata itu berasal dari kata kerja scire (mengetahui) dan awalan con- (bersama dengan, turut). saja Dengan demikian conscientia sebenarnya berarti “turut mengetahui” dan mengingatkan kita pada gejala “penggandaan” yang disebut tadi: bukan saya melihat pohon itu, tapi saya juga “turut mengetahui” bahwa sayalah yang melihat pohon itu. Sambil melihat, saya sadar akan diri sendiri sebagai subyek yang melihat. Nah, kata conscientia yang sama dalam bahasa Latin (dan bahasa-bahasa yang serumpun dengannya) digunakan juga untuk menunjukkan “hati nurani”. Dalam hati nurani berlangsung juga penggandaan yang sejenis. Bukan saja manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat moral (baik atau buruk), tapi ada juga yang “turut mengetahui” tentang perbuatan-perbuatan moral kita. Dalam diri kita, seolah-olah ada instansi yang menilai dari segi moral perbuatan-perbuatan yang kita lakukan. Hati nurani merupakan semacam “saksi” tentang perbuatan-perbuatan moral kita. Kenyataan itu diungkapkan dengan baik melalui kata Latin conscientia.
b.   Hati Nurani Retrospektif dan Hati Nurani Prospektif
Hati nurani retrospektif memberikan penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau. Hati nurani ini seakan-akan menoleh ke belakang dan menilai perbuatan-perbuatan yang sudah lewat. Contoh pada awal bab ini menyangkut hati nurani retrospektif. Hati nurani dalam arti retrospektif menuduh atau mencelah, bila perbuatannya jelek, dan sebaliknya, memuji atau memberi rasa puas, bila perbuatannya dianggap baik. Jadi, hati nurani ini merupakan semacam instansi kehakiman dalam batin kita tentang perbuatan yang telah berlangsung.
Hati nurani prospektif melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita yang akan datang. Hati nurani dalam arti ini mengajak kita untuk melakukan sesuatu atau seperti barangkali lebih banyak terjadi mengatakan “jangan” dan melarang untuk melakukan sesuatu. Di sini pun rupanya aspek negatif lebih mencolok. Dalam hati nurani prospektif ini sebenarnya terkandung semacam ramalan.
Simpulan bahwa hati nurani terutama berbicara dalam perbuatan itu sendiri pada saat dilakukan. Tapi bisa terjadi suatu orientasi ke masa lampau atau suatu orientasi ke masa depan: ke perbuatan yang sudah berlangsung atau ke perbuatan yang akan berlangsung lagi.
c.    Hati Nurani Bersifat Personal dan Andipersonal
Hati nurani bersifat personal, artinya, selalu berkaitan erat dengan pribadi bersangkutan. Norma-norma dan cita-cita yang saya terima dalam hidup sehari-hari dan seolah-olah melekat pada pribadi saya, akan tampak juga dalam ucapan-ucapan hati nurani saya.
Hati nurani diwarnai oleh kepribadian kita. Hati nurani akan berkembang juga bersama dengan perkembangan seluruh kepribadian kita: sebagai orang setengah baya yang sudah banyak pengalaman hidup tentu hati nurani saya bercorak lain daripada ketika masih remaja. Ada alasan lain lagi untuk mengatakan bahwa hati nurani bersifat personal, yaitu hati nurani hanya berbicara atas nama saya.
Karena aspek adipersonal itu, orang beragama kerap kali mengatakan bahwa hati nurani adalah suara Tuhan atau bahwa Tuhan berbicara melalui hati nurani. Ungkapan seperti itu dapat dibenarkan. Bagi orang beragama hati nurani memang memiliki suatu dimensi religius. Kalau ia mengambil keputusan atas dasar hati nurani, artinya kalau ia sungguh-sungguh yakin bahwa ia harus berbuat demikian dan tidak bisa lain tanpa menghancurkan integritas pribadinya, maka ia akan mengambil keputusannya di hadapan Tuhan.
Seperti akan dijelaskan lagi, hati nurani tidak melepaskan kita dari kewajiban untuk bersikap kritis dan mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kita secara obyektif. Tidak dapat dikatakan bahwa hati nurani merupakan hak istimewa orang beragama saja. Setiap orang mempunyai hati nurani karena ia manusia. Kenyataan itu justru menyediakan landasan untuk mencapai persetujuan di bidang etis antara semua manusia, melampaui segala perbedaan mengenai agama, kebudayaan, posisi ekonomis, dll.
d.   Hati nurani sebagai norma moral yang subyektif
Terdapat suatu tendensi kuat dalam filsafat untuk mengakui bahwa hati nurani secara khusus harus dikaitkan dengan rasio. Kami juga berpendapat demikian. Alasannya, karena hati nurani memberi suatu penilaian, artinya, suatu putusan (judgement). Ia menegaskan: ini baik dan harus dilakukan atau itu buruk dan tidak boleh dilakukan. Mengemukakan putusan jelas merupakan suatu fungsi dari rasio.
Dapat disimpulkan bahwa tidak pernah kita boleh bertindak bertentangan dengan hati nurani. Hati nurani selalu harus diikuti, juga kalau-secara obyektif-ia sesat. Akan tetapi, manusia wajib juga mengembangkan hati nurani dan seluruh kepribadian etisnya sampai menjadi matang dan seimbang. Pada orang yang sungguh-sungguh dewasa dalam bidang etis, putusan subyektif dari hati nurani akan sesuai dengan kualitas obyektif dari perbuatannya. Pada orang serupa itu, yang baik secara subyektif akan sama dengan yang baik secara obyektif. Karena itu perlu kita pelajari lagi cara bagaimana keadaaan ideal itu bisa dicapai.
e.    Pembinaan hati nurani
Filsuf Prancis Gabriel Madinier (1895-1958) mengemukakan beberapa pikiran yang pantas diperhatikan. Tempat yang serasi untuk pendidikan moral adalah keluarga, bukan sekolah. Pendidikan hati nurani, itu harus dijalankan demikian rupa sehingga si anak menyadari tanggung jawabnya sendiri.
Tujuan akhir pendidikan sebagai keseluruhan adalah kemandirian serta otonomi anak didik, demikian juga di bidang moral. Anak-anak harus belajar menjalankan kewajiban mereka karena keyakinan, bukan karena paksaan dari luar. Ketakutan akan sanksi yang mewarnai permulaan kehidupan moral, lama-kelamaan harus diganti dengan cinta akan nilai-nilai.
2.    Hati nurani dan “Superego”

1.    Pandangan Freud tentang struktur kepribadian
Instansi ini masing-masing adalah Id, Ego, Superego. Superego itu berhubungan erat dengan apa yang kita sebut dalam etika dengan nama “hati nurani”.
a.    Id
Freud memakai istilah “id” untuk menunjukkan ketaksadaran. Tentang Id berlaku: bukan aku (=subyek) yang melakukan dalam diri aku. Bagi Freud, adanya Id telah terbukti terutama dengan tiga cara, yaitu:
-       Faktor Psikis, yang paling jelas membuktikan adanya Id adalah: mimpi. Bukunya yang pertama di bidang psikoanalisis justru membahas mimpi (Penafsiran mimpi, 1900). Tentang mimpi berlaku bahwa ”bukan sayalah yang bermimpi tapi ada yang bermimpi dalam diri saya”. Bila bermimpi, si pemimpi seolah-olah hanya merupakan penonton pasif. Tontonan itu disajikan kepadanya oleh ketaksadaran.
-       Adanya Id terbukti juga, jika kita pelajari perbuatan-perbuatan yang pada pandangan pertama rupanya remeh saja dan tidak punya arti, seperti perbuatan keliru, salah ucap, “keseleo Lidah”, lupa, dsb. Menurut pendapat Freud, perbuatan-perbuatan seperti itu tidak kebetulan, tapi berasal dari kegiatan psikis yang tak sadar.
-       Id terdiri dari naluri-naluri bawaan, pada mulanya Id sama sekali tidak terpengaruh oleh kontrol pihak subyek. Id harusnya melakukan apa yang disukai. Kata Freud: Id dipimpin oleh “prinsip kesenangan” (the pleasure principle). Id sama sekali tidak mengenal waktu (timeless).
Namun perlu ditekankan bahwa Id atau ketaksadaran merupakan suatu kenyataan psikologis yang normal dan universal. Hidup psikis setiap manusia didasarkan atas Id itu.

b.    Ego
Aktivitas Ego bisa sadar, prasadar, maupun tak sadar. Contoh aktivitas sadar boleh disebut: persepsi lahiriah (saya melihat pohon di situ), persepsi batiniah (saya merasa sedih) dan proses-proses intelektual.
Contoh tentang aktivitas prasadar, dapat dikemukakan fungsi ingatan (saya mengingat kembali nama yang tadinya saya lupa).
Dan aktivitas tak sadar dijalankan oleh Ego melalui mekanisme-mekanisme pertahanan (defence mechanisms), contoh: orang yang dalam hati kecilnya sangat takut pada kenyataannya berlagak gagah berani. Ego dikuasai oleh “prinsip realitas” kata freud, sebagaimana tampak dalam pemikiran yang obyektif, yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan sosial, yang bersifat rasional dan mengungkapkan diri melalui bahasa.
Tugas Ego (bukan Id dan naluri-naluri) untuk mempertahankan kepribadiannya sendiri dan menjamin penyesuaian dengan alam sekitar, lagi pula untuk memecahkan konflik-konflik dengan realitas dan konflik-konflik dengan yang tidak cocok satu sama lain.
c.     Superego
Superego adalah instansi yang melepaskan diri dari Ego dalam bentuk observasi-diri, kritik-diri, larangan dan tindakan refleksi lainnya, pokoknya, tindakan terhadap dirinya sendiri. Superego dibentuk selama masa anak melalui jalan internalisasi (pembatinan) dari faktor-faktor represif yang dialami subyek sepanjang perkembangannya. Faktor-faktor yang pernah tampil sebagai “asing” bagi si subyek, kemudian diterima olehnya dan dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari dirinya sendiri. Larangan, perintah, anjuran, cita-cita, dsb yang berasal dari luar (para pengasuh, khususnya orang tua), diterima sepenuhnya oleh si subyek, sehingga akhirnya terpancar dari dalam. “Engkau tidak boleh mencuri” (larangan dari orang tua) akhirnya menjadi “Aku tidak boleh mencuri”. Engkau harus mengembalikan barang milik orang lain” (perintah dari orang tua) akhirnya menjadi “Aku harus mengembalikan barang milik orang lain”. “Anak putri tidak boleh memanjat pohon” (teguran dari kakak) menjadi “Saya tidak boleh memanjat pohon, karena hal itu tidak patut untuk anak perempuan.
2.    Hubungan hati nurani dengan Superego
Tentang hubungan antara hati nurani dan Superego dapat dikatakan sebagai berikut. Sebaiknya Superego dimengerti sebagai dasar psikologis bagi fenomena etis yang kita sebut “hati nurani” atau lebih tepat kita katakan, sebagai dasar psikologis antara lain bagi fungsi seperti hati nurani yang etis. Sebab, menurut pandangan Freud, Superego bersifat lebih luas daripada hati nurani saja.
Ia mengatakan bahwa selain hati nurani Superego meliputi juga fungsi-fungsi observasi-diri dan “ideal dari aku” (gambaran yang dipakai subyek untuk mengukur dirinya dan sebagai standar yang harus dikejar). Tidak ada keberatan juga untuk menerima penjelasan Freud tentang asal-usul Superego. Bisa saja Superego terbentuk karena internalisasi dari perintah-perintah dan larangan-larangan orangtua. Harus disetujui dengan Freud bahwa fungsi-fungsi psikas manusia pada permulaan hidupnya praktis sama dengan nol dan dari situ mengalami suatu perkembangan berbelit-belit sampai akhirnya mencapai taraf kedewasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN 1.     Latar belakang Terdapat banyak alasan untuk mempelajari filsafat pendidikan, khususnyaapabila ada pertanyaa...