beberapa sistem filsafat moral Berbagai aliran untuk menentukan ukuran
baik HEDONISME, EUDEMONISME,
UTILITARISME, DEONTOLOGI
1.HEDONISME
HEDONISME Yunani “ Hedone” = baik apa yg memuaskan
keinginan kita, apa yg meningkatkan kuantitas kesenangan atau kenikmatan dlm
diri kita Dalam hedonisme terkandung
kebenaran yang mendalam ; manusia menurut kodratnya mencari kesenangan &
berupaya menghindari ketidaksenangan
Sebagai ukuran tindakan baik adalah hedone ; kenikmatan & kepuasan
rasa “Tingkah laku atau
perbuatan yang melahirkan kebahagiaan dan kenikmatan/kelezatan”. Ada tiga sudut
pandang dari faham ini yaitu
v hedonisme
individualistik/egostik hedonism yang menilai bahwa jika suatu keputusan baik
bagi pribadinya maka disebut baik, sedangkan jika keputusan tersebut tidak baik
maka itulah yang buruk;
v hedonism
rasional/rationalistic hedonism yang berpendapat bahwa kebahagian atau
kelezatan individu itu haruslah berdasarkan pertimbangan akal sehat; dan
v universalistic
hedonism yang menyatakan bahwa yang menjadi tolok ukur apakah suatu perbuatan
itu baik atau buruk adalah mengacu kepada akibat perbuatan itu melahirkan
kesenangan atau kebahagiaan kepada seluruh makhluk.
Hedonisme adalah sebuah aliran filsafat Yunani –
dicetuskan oleh Aristipos dan Epikuros – yang bertujuan menghindari
kesengsaraan dan penderitaan dengan menikmati kebahagiaan hidup duniawi
sebanyak mungkin. Ketika kekaisaran Romawi menguasai Eropa dan Afrika,
muncullah semboyan baru hedonisme, yaitu carpe direm, yang berarti
‘raihlah kenikmatan sebanyak mungkin selagi engkau hidup’. Sejak itu dalam
hedonisme kebahagiaan dimaknai sebagai kenikmatan duniawi semata-mata.
Seiring
perkembangan zaman dan teknologi, maka kebutuhan manusia pun semakin bertambah
dan beragam. Dan ketika tumbuh juga kebutuhan untuk dipandang sebagai manusia
eksklusif, yang kemudian dianggap sebagai harga mati maka yang terjadi adalah
serangan virus hedonis yang meluas, hingga ke kalangan remaja sekalipun. Mereka
– sering tanpa mempedulikan kemampuan orang tua – terseret, atau dengan sengaja
menenggelamkan diri, dalam arus hedonisme. Terutama kalangan remaja perkotaan.
Tengok saja,
betapa banyaknya remaja yang lalu lalang di mall atau pusat-pusat keramaian
dengan telepon genggam model mutakhir di tangan, dengan pakaian dan aksesoris
serba mahal, dengan gestur yang membahasakan eksklusifitas diri, berbelanja
barang-barang mewah yang mahal dan bermerk. Sudah nyaris menjadi suatu hal yang
dimahfumi memang, tapi bukan berarti tidak perlu dicermati dan disikapi dengan
benar – agar remaja kita tidak menjadi hedonis-hedonis yang mendewakan segala
jenis kenikmatan duniawi. Perlu diingat bahwa hedonisme sangat dekat dengan
narkoba dan perilaku seks bebas.
Sebenarnya
hedonisme memiliki aspek negatif dan positif, namun orang lebih banyak melihat
aspek negatifnya, karena gaya hidup hedonis nampaknya hanya sebuah hal yang
berkutat seputar sensasi saja. Ada dua level hedonisme, yaitu level individual
dan level sosial. Jika berada dalam level individual, maka masih dapat
dikatakan positif, karena bagaimanapun setiap orang berhak untuk mendapatkan
kebahagiaan. Terutama jika didahului dengan sebuah usaha dan kerja keras.
Hedonisme akan menjadi masalah jika sudah memasuki level sosial, ketika
lingkungan sekitar mengalami krisis dan sekian banyak kesulitan hidup, tapi ada
sebagian orang sibuk berfoya-foya dengan gaya yang super ‘wah‘ –
berkesan tidak berempati pada kondisi sekitar. Dan hedonisme di kalangan remaja
terjadi terutama karena remaja belum memiliki filter diri yang baik, masih
belum memiliki banyak pengalaman, remaja juga berada dalam masa pencarian diri
sementara mereka belum memiliki mekanisme pengendalian diri yang kuat, sehingga
lebih rentan terpapar virus hedonisme. Kondisi ini diperburuk oleh kehidupan
perkotaan dengan ruangnya yang besar di mana orang-orang yang tidak saling
mengenal, sehingga keinginan untuk menunjukkan identitas dan posisi diri
semakin besar. Pada remaja, status simbolnya adalah ingin tampil beda, tanpa
berpikir apakah itu pantas atau tidak untuk dirinya.
Wajar saja
memang jika remaja ingin mencoba sesuatu yang baru, bergaul, dan sebagainya.
Namun semua itu harus memiliki batasan-batasan, dan batasannya tidak dapat
disamakan dengan yang dimiliki orang dewasa. Jika remaja sudah melampaui batas,
maka orang tua wajib menghentikannya. Dengan menetapkan aturan-aturan baru yang
mempersempit geraknya, sebaiknya dilakukan secara bertahap namun tetap tegas.
Misalnya mengurangi uang jajan, menerapkan jam malam, dan sebagainya.
Remaja berada
dalam periode yang sangat labil secara emosional dan dunia mereka tengah
bergeser dari keluarga menjadi lingkungan pergaulan. Maka jika mereka ‘berbeda’
dengan kelompoknya, mereka akan merasa tidak nyaman, takut tidak diterima
atau disebut ‘aneh’ dan sebagainya. Orang tua harus dapat mengarahkan pola
pikir seperti itu agar mereka tidak terjerumus dan menjadikan hedonisme sebagai
gaya hidup.
Orang tua
adalah tokoh utama dalam pembentukan kepribadian seorang remaja. Orang
tua harus menanamkan nilai-nilai positif sejak dini pada anak. Orang tua harus
terbuka dan tidak memandang remeh kemampuan remaja-remaja mereka dalam merespon
keterbukaan tersebut. Dukungan yang kuat dari keluarga akan membentuk pribadi
yang kuat pula, sehingga menjadi tameng dari hal-hal negatif di luar rumah.
Dukungan dapat membuat anak merasa nyaman dan memiliki self-esteem
yang kuat.
Namun bila remaja kita terlanjur
konsumtif, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh para orang tua:
Berdialog.
Komunikasi adalah kunci utama dalam terciptanya hubungan yang harmonis antara
anak dengan orang tua. Namun, masih banyak sekali orang tua yang merasa tidak
harus mendiskusikan segala seuatu dengan anaknya. Sehingga yang terjadi adalah
komunikasi satu arah, di mana tugas tinggal mematuhi saja. Padahal larangan
tanpa didasari alasan yang jelas dan logis hanya akan memicu pemberontakkan
dari si anak. Dengan berdiskusi orang tua menjadi tahu apa yang dirasakan,
diinginkan, dan dipikirkan oleh anak. Dengan berbicara, anak juga menjadi tahu,
mengerti, dan memahami kondisi-kondisi yang tengah dialami orang tuanya.
Pembatasan uang saku.
Hedonisme identik dengan materi, oleh karena itu orang tua harus dapat
menetapkan batasan dengan cermat dan cerdas. Pembatasan ini dimaksudkan agar
anak tidak menjadi pribadi yang instan.
Melakukan kegiatan
positif. Orang tua perlu mendorong anak melakukan kegiatan-kegiatan
positif yang dapat mengembangkan bakat dan potensi anak. Dengan demikian anak
lebih fokus untuk berprestasi.
Karena anak
banyak menghabiskan waktunya di sekolah, maka pihak sekolah – dalam hal ini
para guru dan pendidik – juga memiliki peranan yang besar. Diharapkan sekolah
dapat menetapkan peraturan yang membuat anak-anak berpenampilan sederhana dan
sesuai dengan usia mereka. Misalnya seragam sekolah untuk siswi tidak boleh
pendek, sepatu dan tas tidak boleh bermerk, tidak boleh membawa kendaraan
bermotor dan barang-barang elektronik yang mahal ke sekolah. Selain itu juga
memberikan pelajaran budi pekerti dan mewajibkan semua siswanya menabung di
koperasi. Agar mereka selalu diingatkan bahwa masa depan yang cerah tidak dapat
diraih dengan berfoya-foya, bahwa kebahagiaan sama sekali tidak identik dengan
hedonisme.
Contoh :
Hedonisme
adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi
adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang,
pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan
bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya 1x,
sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. di dalam
lingkungan penganut paham ini, hidup dijalanani dengan sebebas-bebasnya demi
memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Dari golongan penganut paham ini lah
muncul Nudisme
(gaya hidup bertelanjang). Pandangan mereka terangkum dalam pandangan Epikuris
yang menyatakan,"Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena
besok engkau akan mati."
Contoh
:
2. EUDEMONISME (eudaimonia = kebahagiaan)
EUDEMONISME Yunani “ dalam setiap
kegiatan manusia mengejar suatu tujuan Impliksinya : tindakan dikatakan baik
apabila bertujuan untuk kebaikan /mempunyai tujuan yang baik . Ajarannya : yang baik bagi manusia adalah yang mmebuat dia
bahagia
Jalan pikirannya : manusia dalam bertindak ada dua tujuan
:
- tujuan demi tujuan selanjutnya
- tujuan demi dirinya sendiri (kebahagian)
Menurut Aristoteles :
Kebahagiaan dicapai dalam melakukan sesuatu , yakni
dengan mengembangkan secara optimal segala potensi yang ada pada kita
Tindakan itu (tiga bentuk hidup) ialah :
- Hidup mencari nikmat
- Hidup berpolitik
- Hidup berfilsafat
Kritik : selai egois juga tidak mencukupi sebagai
pertanggung jawaban moral suatu tindakan
Eudemonisme adalah suatu konsep etika yang
dilahirkan Aristoteles dengan menitiktekankan “kebahagiaan” sebagai tujuan
tertinggi hidup manusia. Perlu diingat, kebahagiaan dalam pemahaman Ariatoteles–serta pada umumnya (untuk tidak dikatakan
seluruhnya) filsuf Yunani pada masa itu tak sama dengan apa yang dipahami
mengenai kebahagiaan dalam arti sekedar “feeling happy” seperti
kebanyakan pemahaman orang saat ini, atau pun seperti bagaimana Hedonisme
memandangnya. Kebahagiaan ala Aristoteles adalah
suatu keadaan manusia di mana “yang seharusnya ada” memang “ada padanya”.
Sederhananya, manusia bahagia adalah
ia yang secara “das sein” mampu menyelaraskan dengan apa yang menjadi “das
sollen”-nya.
Aristoteles membagi tujuan menjadi dua:
yang dicapai untuk sesuatu yang lebih jauh lagi dan yang dicapai sebagai
dirinya sendiri. Kebahagiaan, bagi Aristoteles, merupakan satu-satunya tujuan
hidup tertinggi yang berusaha dicapai sebagai dirinya sendiri oleh manusia.
Sebab setelah kebahagiaan, tidak masuk akal manusia akan membutuhkan hal lain
bagi dirinya. Namun bagaimanakah seseorang dapat mencapai kebahagiaan itu?
Menurut Aristoteles, manusia akan
mencapai kebahagiaan hanya jika ia mampu mengaktualisasikan potensi khas
manusianya, yakni dengan berkontemplasi; memandang kebenaran. Namun kontemplasi
saja tidak cukup. Untuk mencapai kebahagiaan yang utuh, manusia–yang tidak hanya sebagai
makhluk individual, melainkan juga sebagai makhluk sosial (zoon politicon)- harus juga menjalankan aktifitas dalam kerangka fungsi sosialnya
dengan baik (praxis). Dengan demikian kehidupan bersama yang baik
sebagai syarat untuk mencapai kebahagaiaan yang utuh itu dapat tercapai. Dalam
rangka inilah manusia memerlukan apa yang disebut sebagai keutamaan (aretẻ)
yang berfungsi untuk menentukan apa
yang harus dilakukannya secara tepat.
Keutamaan-keutamaan
a. Keutamaan
Intelektual
Ada dua fungsi dari rasio menusia
menurut Aristoteles, yakni untuk mengenal kebenaran (bersifat universal) dan
untuk mengetahui tindakan mana yang tepat untuk dilakukan pada saat-saat tertentu
(parsial). Dalam fungsinya yang pertama itu, manusia akan mendapatkan
kebijaksanaan teoretis yang disebut Aristoteles sebagais o p h i a. Dengan
sophia ini
manusia akan mampu mendapatkan pengetahuan mengenai kebenaran-
kebenaran yang bersifat universal dan tetap, seperti
halnya hukum-hukum alam dan Allah. Pada titik inilah keutamaan intelektual itu
memiliki porsi besarnya. Sementara dalam fungsinya yang disebutkan terakhir,
manusia akan mendapatkan suatup h r o n ẻ s i s (kebijaksanaan praktis) yang berfungsi
menuntun tindakannya ke arah yang tepat.
b. Keutamaan
Moral
Manusia memiliki tidak hanya akal-budi
saja (khas manusia), melainkan juga di dalam dirinya terdapat nafsu, keinginan,
kebutuhan, dan lain sebagainya yang turut berperan penting dalam mempengaruhi
tindakannya. Dalam melakukan tindakan- tindakannya, manusia tak jarang terjebak
pada posisi yang ekstrem. Misalkan saja kita memiliki sejumlah harta, kita
dapat saja terlalu sayang terhadap harta itu sehingga mengakibatkan kita kikir;
atau sebaliknya, kita dapat juga terlalu boros karena menganggap diri kita
telah memiliki sejumlah harta yang cukup atau bahkan lebih dari banyak. Dua
sikap ekstrem inilah yang harus dielakkan dari tindakan keseharian kita agar
kita dapat mencapai kehidupan yang baik. Sebagai jalan tengah dari tamsil
mengenai dua sikap ekstrem itu adalah kedermawanan. Kedermawanan bukan berarti
pemborosan, sekaligus tentu bukan kekikiran. Inilah yang dapat dicapai oleh
manusia dengan keutamaan moralnya berlandaskanp hronẻsis tadi.
Namun bagaimana seseorang dapat
mengembangkan keutamaan moralnya? Sebagaimana etika yang menurut Aristoteles
tak mungkin diajarkan, demikian pula keutamaan moral juga tidak. Keutamaan akan
didapatkan seseorang dari pengalaman kesehariannya dalam bertindak yang sesuai
dan berdasar kepada keutamaan itu sendiri.
Sekilas kita
mendapati suatu “lingkaran setan” dari pernyataan ini. Namun yang
dimaksudkan oleh
Aristoteles di sini adalah bahwa seseorang, pada awalnya, untuk
mencapai
keutamaan itu dalam dirinya sendiri haruslah mula-mula mengacu pada
keutamaan
“objektif” (semacam aturan, norma) yang dianggap baik oleh orang banyak.
Dari sini lambat laun ia akan mencapai keutamaan-keutamaan
itu sebagai suatu sikap watak yang melekat dalam dirinya sendiri, dengan tidak
perlu lagi mengacu terhadap aturan-aturan yang ada. keyakinan akan Ide-ide
abadi yang diusung oleh Plato. Menurut Plato, ketika manusia harus berbuat baik
dan benar, maka kebaikan dan kebenaran itu sebenarnya didapatkan sesuai dengan
ide-ide abadi yang kembali diingatnya melalui tahapan-tahapan pengalaman yang
dilaluinya (baca toeri pengenalan Plato). Dengan demikian, kebenaran (termasuk
dalam perkara tindakan manusia dalam pembahasan etika) telah memiliki suatu
gambaran objektifnya di alam Ide sana yang bernilai sebagai dirinya sendiri
tanpa dipengaruhi oleh otoritas rasio manusia yang–meminjam Heidegger- “being there”,
sangat bergantung terhadap konteks.
Aristoteles menyanggah pendirian itu.
Menurutnya, hal-hal yang empiris mampu diabstraksikan oleh manusia menjadi
konsep-konsep universal tentang substansi sesuatu tanpa harus adanya Ide-ide
tentang hal itu sebelumnya. Di sinilah peran aretai dianoetikai (keutamaan intelektual) manusia memainkan perannya.
Berangkat dari alasan itulah kemudian Aristoteles memberikan garis tegas yang
memotong sama sekali hubungan antarat h e o r i a denganp r a x i s. Maka ditinjau
dari sisi ini, dalam batasan tertentu kiranya kita bisa mempertemukan
Aristoteles dengan eksistensialisme.
Satu hal lagi yang sangat perlu ditekankan
adalah pemaparan Aristoteles mengenai Allah. Dalam hal ini jangan sekali-kali
menjumbuhkan pemaknaan Allah ala Aristoteles dengan apa yang dipahami oleh
agama-agama “langit”, meski pada kenyataannya
Aristoteles juga
seorang “monoteis” dalam arti yang agak aneh, sebab dalam beberapa
kesempatan ia
masih menyebut “dewa-dewa”
(jamak). Monoteisme Aristoteles ini dapat
dilihat dari
gagasan-gagasannya yang masyhur, seperti tentang Penggerak Pertama yang
tak digerakkan (Causa Prima).
Gagasan tentang Causa Prima itu tadi kiranya sekaligus memberikan
penjelasan kepada kita bahwa dalam keyakinannya terhadap Yang Ada-Absolut
(ilahi) itu bersifat deistis. Dalam hal ini, jika kita mencoba memandangnya
dari kacamata Islam (tentu saja
ini tidak dilakukan atas dasar keinginan untuk menghakimi
Aristoteles) jelas tidak akan menemukan kesesuaiannya, mengingat doktrin Islam
menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta, dan dengan demikian maka apa yang
diciptakan-Nya tentulah memiliki permulaan dan penghabisan. Aristoteles tidak
demikian. Dalam metafisikanya ia menjelaskan bahwa alam raya ini abadi, seperti
abadinya Penggerak Pertama yang tak digerakkan itu.
Namun terlepas
dari perdebatan metafisika itu, sebenarnya kita dapat menggali
banyak hal dari
Aristoteles yang spiritnya senada dengan apa yang dimiliki oleh agama-
agama “langit”
yang ada, khususnya Islam. Cara Aristoteles memaknai kebahagiaan
dengan sedemikian rupa; bahwa kebahagiaan adalah bentuk
akltualisasi diri dengan mendasarkan tindakan-tindakan keseharian kepada
keutamaan-keutamaan seperti yang telah dijelaskan, kiranya dapat dilihat
sebagai suatu nilai yang tidak berlebihan untuk disebut luar biasa dari
pencapaian filosofisnya.
Perlu diingat kembali, kebahagiaan ala
Aristoteles sama sekali berbeda dengan kesenangan dalam terminologi hedonisme.
Aristoteles tidak melihat kebahagiaan sebagai sesuatu yang harus dicapai oleh
manusiah a n y a sebagai individu (egois), melainkan
kebahagiaan yang dicapai seseorang harus pula bernilai bagi pencapaian
kehidupan bersama yang baik. Artinya, tidak utuh kebahagiaan seseorang selama
ia tidak dapat mengaktualisasikan diri dalam kehidupan sosial bersama lingkungan-masyarakatnya
.
3. UTILITARISME ( Utilitas = berguna)
Prinsip utilitarisme
adalah jelas & suatuèrasional tindakan dikatakan baik jika bermanfaat atau
berguna bagi orang lain Aliran ini
banyak yang tidak menerima karena apa yang bermanfaat bagi seseorang mungkin
tidak bermanfaat bagi orang lain.
Ajarannya
: yang baik adalah yang membawa manfaat bagi orang banyak
Keunggulannya : tidak bersifat egois, melainkan
universal
Kelemahannya : tidak menjamin keadilan dan hak-hak
manusia
Anggapan bahwa klasifikasi kejahatan harus didasarkan
atas kesusahan atau penderitaan yang diakibatkannya terhadap terhadap para
korban dan masyarakat.
Menurut kodratnya manusia menghindari ketidaksenangan
dan mencari kesenangan. Kebahagiaan tercapai jika manusia memiliki kesenangan
dan bebas dari kesusahan.
Karena menurut
kodratnya tingkah laku manusia terarah pada kebahagiaan, maka suatu perbuatan
dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi
kebahagiaan semua orang
Moralitas suatu
tindakanharus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapau
kebahagiaan umat manusia. (The greatest happiness of the greatest number)
4. DEONTOLOGI
(deon = wajib)
merupakan suatu teori atau studi tentang
kewajiban moral Moralitas dari suatu keputusan etis yg sepenuhnya terpisah dari
konsekuensinya Ex. Seorang perawat yg berkeyakinan bahwa menyampaikan suatu
kebanaran merupakan hal yg sangat penting & tetap harus disampaikan, tanpa
peduli apakah hal tersebut mengakibatkan orang lain tersinggung atau bahkan
syok . Ajarannya : baik
buruknya suatu tindakan tidak tergantung akibatnya, melainkan ada cara
bertindak yang begitu saja wajib atau dilarang.
Kelemahannya :
- Sifat mengharuskannya
- Bisa fanatisme buta
Deontologis peraturan
Ajarannya : norma moral berlaku begitu saja (menurut
Immanuel kant, berlaku imperatif katagoris)
Kesulitan :
- Tentang nilai suatu tindakan yang berasal dari
suatu kecenderungan spontan dan motif berbuat baik
- Tentang tanggung jawab manusia terhadap akibat
dari suatu tindakan
Jalan keluar :
Immanul Kant : bertindaklah sedemikian rupa sehingga
orang lainpun dapat bertindak demikian
Willian D Ross :
harus dibedakan kewajiban yang berlaku prima facie dan kewajiban yang
sebenarnya
Deontologis tindakan (disebut juga etika situasi)
Ajarannya : setiap situasi adalah unik
- Yang baik adalah yang baik dalam situasi tertentu
- Membedakan norma moral umum dan norma moral konkret
Kritik : tindakan sesuai dengan rasionalitas kesadaran
moral
Kesimpulan : dari semua teori penting yang dibahas tidak
terdapat satu sistem pun sama sekali memuaskan, yang bisa menjadi jawaban
satu-satunya atas pertanyaan dasar kita.
Teori Deontologi,
adalah teori yang dijelaskan secara logis oleh filsuf Jerman yaitu Immanuel
Kant. Kata deon berasal dari Yunani yang berarti kewajiban, sehingga dapat
dikatakan bahwa teori ini menekankan pada pelaksanaan kewajiban. Suatu
perbuatan akan baik apabila didasari atas pelaksanaan kewajiban, jadi selama
melakukan kewajiban sudah melakukan kebaikan, tanpa memikirkan akibat atau
konsekuensinya, atau dengan kata lain suara terbanyak bukanlah ukuran untuk
menentukan kebaikan.
Filsuf
Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang pembahasan
Etika, sebagai berikut: Terminius Techicus, bahwa etika dipelajari untuk ilmu
pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. Dan
Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan
(adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang
terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan
manusia. Etika dapat dijadikan sumber nilai dan agama (bukan agamanya, tapi
aksesoris dari implementasi agama tersebut)
Pengertian dan definisi Etika dari
para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:
1. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan
sifat dari hak (The principles of morality, including the science of good and
the nature of the right)
2. Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama
dari kegiatan manusia. (The rules of conduct, recognize in respect to a
particular class of human actions)
3. Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral seba¬gai
individual. (The science of human character in its ideal state, and moral
principles as of an individual)
4. Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty)